HUJAN LIMA TAHUN YANG LALU.
Langit
yang tadinya berwarna biru cerah, kini ditutupi oleh awan berwarna
abu-abu gelap, semakin lama semakin membesar hingga membentuk suatu
gumpalan awan hitam besar yang menyeramkan. Matahari pun seakan takut
dan menyembunyikan wajahnya, akibatnya dunia menjadi gelap, hingga
akhirnya awan itu menghujani bumi dengan ribuan tetesan air yang
sangat deras.
Orang-orang
berlarian mencari tempat berteduh. Bagi sebagian orang hari ini
adalah hari yang sangat di tunggu-tunggu, karena sudah beberapa bulan
terakhir hujan tidak turun. aku duduk di depan dinding kaca gedung
kampus, aku menatap kearah jalanan melalui kaca yang ada dihadapanku,
ku lihat beberapa orang terlihat sangat gembira, bahkan ada diantara
mereka yang melompat-lompat di bawah guyuran hujan bersama beberapa
anak-anak. Spontan aku tersenyum melihat tingkah konyol mereka,
seakan begitu merindunya mereka terhadap hujan.
Rindu.
Ya, mungkin kata itulah yang cocok untuk menggambarkan suasana disaat
hujan, hampir semua orang pasti punya kenangan tak terlupakan disaat
hujan, tak terkecuali dengan diriku. Pikiranku melayang menjelajahi
lorong waktu. Mengingat kembali kejadian pada lima tahun yang lalu,
hari terakhirku bertemu dengan Diana, sahabat masa kecilku. Sesaat
sebelum dia pergi untuk melanjutkan sekolahnya di Yogyakarta.
Saat
itu adalah hari kelulusan kami di SMP, untuk merayakannya, aku
mengajak Diana pergi kesuatu tempat, sebuah dataran tinggi di
tengah-tengah perkebunan. Pemandangan dari atas sini sungguh
menakjubkan, sejauh mata memandang yang tampak adalah lukisan alam
berupa pengunungan yang sebagian besar ditumbuhi pepohonan kelapa
sawit, di bawah pengunungan itu, terdapat sebuah sungai yang
mengalir, airnya begitu jernih, tanpa ada sampah yang hanyut
bersamanya, menggoda siapa saja untuk terjun dan berenang kedalamnya.
“Subhanallah,
tempat ini begitu sangat luar biasa, aku bisa menghirup udara segar,
dan menikmati betapa sempurnanya ciptaan sang maha pencipta” Ujar
Diana, dia tampak begitu kagum dengan pemandangan disekelilingnya.
“Ya,
aku sering ke tempat ini sekedar untuk menenangkan diri atau
menjernihkan pikiran dari kepenatan akan banyaknya tugas sekolah.”
Jawabku sambil mengambil posisi duduk di rerumputan yang hijau.
“Kenapa
baru sekarang kamu mengajakku kesini?” Tanya Diana, dia duduk
disebelahku, lalu menatapku, ada nada kesal dalam ucapannya.
Aku
menoleh kearahnya, kini mata kami saling bertemu, lalu aku menjawab
pertanyaannya “Aku sengaja merahasiakannya darimu, sebenarnya sudah
lama aku mencari waktu yang tepat untuk mengajakmu ke tempat ini, dan
mungkin sekaranglah saatnya”.
Dilemparnya
senyum kearahku, senyum itu yang selalu membangkitkan semangatku,
senyum yang tak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku. ”Aku
ingin mengatakan sesuatu sama kamu ...”
“Sepertinya
akan turun hujan, sebaiknya kita berteduh,” aku memotong ucapannya,
saat rintik gerimis sudah mulai aku rasakan menyentuh wajahku, aku
menariknya dan berlari menuju sebuah gubuk kecil yang berada tepat di
tengah-tengah bukit ini.
Kami
duduk dipinggir gubuk dengan posisi kaki menjulur kebawah. Tak lama
kemudian hujan turun semakin deras, menimbulkan suara gemerisik di
atas atap. Kulirik wajah Diana yang bersembunyi di balik kerudung
putih yang menutupi kepalanya, mukanya terlihat pucat, sepertinya dia
kedinginan. Aku melompat turun, mencari-cari sebatang korek api,
disisi lain gubuk ini terdapat perapian, seakan sudah terbiasa dengan
tempat ini aku langsung bisa menemukan sebuah korek api yang di
selipkan sebatang bambu yang menjadi penopang atap gubuk ini, segera
aku menyalakan perapian dan menuntun Diana untuk duduk di depan
perapian bersamaku di sampingnya. Kami hanya duduk terpaku menatap
api memakan kayu dengan rakusnya, tak ada sepatah katapun yang
terucap diantara kami, sampai akhirnya, aku membuka kembali
percakapan.
“Gak
terasa ya, sebentar lagi kita sudah memasuki SMA, perasaan baru
kemarin aku melihatmu menangis karena bekal makan siangmu
tertinggal”.
Dia
tertawa dan mencubit perutku, hal yang sering dilakukannya saat aku
mengingatkan kembali peristiwa yang terjadi di awal pertemuan kami
semasa duduk dibangku TK. Hari itu adalah hari pertama aku masuk TK,
aku duduk berdampingan dengan Diana. Pada jam makan siang, tiba-tiba
dia menangis histeris saat membuka tasnya dan tidak menemukan kotak
makan siangnya di sana, mungkin ibunya lupa memasukkan makan siangnya
ke dalam tasnya. Semua murid memandanginya dengan ekspresi ketakutan.
Ibu guru berusaha untuk menenangkannya, lalu aku ambil sepotong
sandwich dari
kotak makan siangku dan aku berikan kepadanya. barulah dia berhenti
menangis.
Sampai
masuk SD kami masih tetap bersama, dan mulai akrab sejak kelas IV.
Saat mendaftar SMP aku kembali bertemu dengannya, dia datang bersama
Ibunya, begitupun aku, datang bersama dengan Ibuku. Ibu kami juga
terlihat dekat, seperti teman lama yang bertemu kembali. Sebenarnya
jarak rumah kami tidak terlalu jauh, hanya beda dusun saja. Dan saat
pertemuan itulah Ibu kami menceritakan kejadian waktu di TK itu,
pasti Ibu Alfi, guru kami sewaktu TK yang menceritakannya kepada Ibu
kami. Kami berempat kompak tertawa.
Kembali
ke gubuk
“Kita
sudah bersama sejak TK hingga SMP, mungkin kita memang ditakdirkan
untuk bersama, aku berharap kita juga akan satu SMA lagi, kamu
ingatkan dulu kamu pernah bilang bahwa kita akan tetap bersama” aku
melanjutkan perkataanku.
Mimik
wajahnya terlihat berubah, seakan menyembunyikan kesedihan dalam
dirinya. Aku bisa membacanya, tapi aku berpura-pura tidak
mengetahuinya. Kami terdiam lagi beberapa saat, kemudian aku kembali
berbicara dengan mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain.
“Diana?”
“Ya”,
jawabnya sambil tersenyum seperti senyum yang dibuat-buat.
“Tadi
kamu ingin mengatakan sesuatu kan, apa itu?”.
Wajahnya
kembali terlihat muram, “Emmm, sepertinya sudah semakin sore, aku
harus pulang”, bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah
mengalihkan ke hal yang lain. padahal biasanya aku sering bersamanya
sampai senja. Dia bangkir dan berdiri menatap langit yang masih
menurunkan hujan.
“Tapi
hujannya masih deras, aku takut nanti kamu sakit”,aku bangkit
mengikutinya, ku julurkan telapak tanganku ke luar untuk memastikan
hujannya masih deras.
“Itu
tidak akan terjadi, aku bukan anak kecil lagi Fik, aku takut orang
tuaku mencari dan mencemaskanku”.
“Oke.
baiklah, aku kan mengantarmu pulang.”
Kami
berlari menembus hujan, aku letakkan tasku di atas kepalanya, untuk
melindunginya dari hujan. Sampai di sebuah pohon besar, aku menarik
sepedaku yang terparkir disana, dia duduk di bangku belakang.
“Siap?”
Tanyaku sambil bersiap mengayuh sepeda
“Ya,
ayo kita jalan”.
Aku
mengayuh sepedaku menuruni bukit, melewati jalanan berbatu, kemudian
berhenti diatas jembatan.
“Kenapa
Berhenti?”, Tanya Diana
“Jalannya
menanjak, aku rasa kita harus berjalan kaki dan menuntun sepedanya,
kamu tidak keberatan kan?”.
“Tentu
saja tidak, bagaimana kalau kita berlomba saja, aku akan berlari, dan
kamu naiki saja sepedanya, siapa yang sampai diatas lebih dulu dialah
pemenangnya”.
“Oke,
aku setuju, ayo kita mulai”.
Kami
berlomba untuk tiba diatas puncak, aku menaiki sepeda, tapi aku kalah
dengan Diana, dia sudah lebih dulu sampai, sementara aku masih berada
di tengah. Dia melambai-lambaikan tangannya dan bersorak. Setibanya
diatas, kami duduk di jalanan yang kini telah dilapisi aspal. Kami
duduk bersadaran saling membelakangi, kuhadapkan wajahku kearah
langit, menikmati setiap tetesan hujan menyentuh dan membasahi
tubuhku.
Aku
kembali mengayuh sepedaku menembus tirai air raksasa hingga tiba di
depan pagar rumah Diana, aku menghentikan laju sepedaku. Dia turun
dan melambaikan tangannya, “Sampai jumpa lagi”, aku lihat ada
butiran bening yang keluar dari kedua bola matanya, sepertinya dia
menangis, derasnya hujan masih tak mampu menyembunyikan air matanya.
Baru setelah itu dia berlari menaiki tiga anak tangga dan masuk ke
dalam rumah. Ku kayuh lagi sepedaku meninggalkan rumah Diana di
belakangku, pikiranku dipenuhi oleh beragam pertanyaan ada apa dengan
Diana? kenapa aku melihat ada kejanggalan dalam dirinya? karena
kurang berkonsentrasi, ban depan sepedaku menyenggol sebongkah batu
besar, aku tergelincir dan jatuh tak sadarkan diri.
Aku
membuka kelopak mataku dengan perlahan, aku seperti merasa terbangun
dari tidur yang panjang. Aroma khas rumah sakit langsung mengusik
penciumanku, aku sudah bisa menebak, pasti aku sedang berada di rumah
sakit sekarang. Ku lihat ibuku bangkit dari tempat duduknya dan
berjalan menghampiriku, disusul oleh ayahku dibelakangnya. mereka
tersenyum kepadaku. Lalu Ibu menceritakan semuanya tentang apa yang
terjadi pada diriku, ternyata aku sudah tiga hari tak sadarkan diri,
aku di bawa ke rumah sakit oleh warga yang menemukanku di jalan, dan
terpaksa di rawat di rumah sakit karena cidera yang cukup serius di
bagian kaki kiriku. Ibu juga bercerita tentang Diana, bahwa satu hari
setelah aku di rawat, dia datang bersama keluarganya untuk melihat
keadaanku sekaligus untuk berpamitan karena ayah Diana dipindah
tugaskan ke Yogyakarta.
Aku
teringat kejadian beberapa hari yang lalu, berbagai pertanyaan yang
menggangguku sehingga menyebabkan aku seperti sekarang ini, kini
terjawab sudah oleh penjelasan dari Ibuku. Pantas saja Diana terlihat
begitu sedih dan mengelak saat aku menyinggung bahwa kami akan tetap
bersama. Mungkin itu juga yang akan dikatakan Diana saat itu, tapi
kemudian dia ragu sebab aku begitu berharap bisa selalu bersamanya
saat itu.
Aku
bisa merasakan ada sesuatu yang mengalir membasahi pipiku. Aku
menangis bukan karena merasakan kesakitan yang aku alami, tapi karena
perpisahanku dengan seorang sahabat yang selalu setia menemaniku,
memberi warna dalam kehidupanku, karena hanya dialah temanku yang
paling dekat. Aku bisa membayangkan hari-hariku kedepannya tanpa
kehadirannya lagi bersamaku, pasti akan sangat membosankan.
Dua
minggu dirawat di rumah sakit, aku sudah diperbolehkan pulang,
meskipun kakiku masih terasa sakit untuk digerakkan. Sebentar lagi
aku akan mulai sekolah, ayahku telah mendaftarkanku di SMA Tunas
Bangsa. Aku mencoba menjalani hidupku tanpa ada canda tawa dari Diana
lagi, tidak ada lagi yang memberiku semangat disaat aku mulai
mengeluh, tidak ada lagi yang pernah mencubitku, dan tidak ada lagi
senyum yang biasanya membangkitkan semangatku. aku benar-benar merasa
sepi dan sendiri, seakan dunia ini telah menjadi hampa.
Tiga
tahun berlalu, aku mulai terbiasa dengan keadaanku yang sekarang,
mendapatkan teman-teman baru di sekolahku, tapi tetap tidak ada yang
mampu menggantikan Diana, aku juga tak akan pernah lupa dengannya,
meski aku telah mempunyai banyak teman di sekolah. tamat SMA aku
meminta untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta dengan harapan bisa
bertemu lagi dengan Diana. Tentu saja orang tuaku tidak keberatan,
mereka juga pasti bisa merasakan apa yang aku rasakan, rasa rindu
kepada seorang sahabat sejak kecil yang sudah tiga tahun lebih
terpisahkan oleh jarak.
Aku
membongkar seluruh isi lemari pakaianku, laci, dan seluruh tempat
penyimpanan yang biasanya aku gunakan untuk menyimpan benda-benda
berharga, tapi tak juga aku menemukan sobekan kertas kecil yang
berisikan alamat Diana yang diberikan pada Ibuku saat aku baru keluar
dari rumah sakit tiga tahun yang lalu.
Suara
klakson mobil terdengar dari luar, aku menghela napas dan dengan
terpaksa aku harus bergerak keluar dan bersiap untuk berangkat ke
Bandara, di sepanjang perjalanan, aku berdo’a tak hanya meninta
agar diberikan keselamatan dan kesuksesan nantinya, tetapi tak lupa
juga memohon agar aku bisa dipertemukan kembali dengan Diana.
“Fikri?”
Tiba-tiba
terdengar suara memanggil namaku dari belakang, dia menepuk pundakku,
membuyarkan semua lamunan panjangku. Aku membalikkan tubuhku, kulihat
seseorang berdiri dihadapanku, itu Ayu, teman kuliahku, “Ada
apa?”, jawabku dengan suara sedikit serak.
“Tidak
ada, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, dari tadi ku
perhatikan kamu hanya berdiam diri menatap dinding kaca itu, apa
sebenarnya yang kamu lakukan, menunggu kaca itu berbicara padamu?”.
“Ya,
aku baik-baik saja, aku hanya menunggu hujannya reda”.
“Hujannya
sudah reda sejak beberapa menit yang lalu”, dia menunjuk kearah
luar melalui dinding kaca itu.
“Oh,
iya. Sebentar lagi aku akan pulang”, jawabku dengan sedikit
terbata-bata.
“Baiklah,
kalau begitu aku akan pulang lebih dulu, sampai ketemu besok”. dia
melambaikan tangannya kemudian pergi meninggalkanku.
Hari
sudah mulai sore, ku perhatikan seluruh sudut koridor kampus tak ada
satu orang pun berada disana, kecuali aku. Perutku sudah terasa
lapar, aku memutuskan untuk turun kebawah. Sampai di bawah kantin
sudah tutup. Aku menatap langit, sangat gelap, sepertinya hujan akan
turun lagi, akhirnya aku berjalan meninggalkan kampus. Tiba di tepi
jalan aku berhenti, ramainya lalu lalang kendaraan membuatku sulit
untuk menyebrang. Hingga hujan kembali mengguyur, kali ini lebih
deras dari yang sebelumnya, aku masih tetap berdiri, mencari celah
agar bisa menyebrangi jalan ini untuk sampai di kostku yang berada di
seberang jalan ini. Tiba-tiba, aku merasakan air hujan tidak lagi
menyentuhku, seseorang memayungiku dari belakang. Aku berbalik badan,
kini dihadapanku berdiri seorang gadis mengenakan jaket ungu di
padukan dengan kerudung putih menyelimuti kepalanya, tangan kirinya
menenteng sebuah kantung plastik dan tangan kanannya memegang gagang
payung. Pandanganku terpusat pada pergelangan tangan kanannya. ada
benda yang melingkari pergelangan tanganya, benda itu tak asing
bagiku, sebuah gelang berwarna hitam yang terbuat dari tali, gelang
yang sama persis seperti yang aku pakai. Gadis itu menatap ku, tanpa
sadar iya menjatuhkan payungnya. Airmatanya mengalir dari celah-celah
kelopak matanya.
“Fikri?”,
ucapnya lirih, dia memeluk tubuhku dengan erat, “aku sangat
merindukanmu”.
Aku
tak menjawab pertanyaannya ku letakkan kedua tanganku menyilang di
punggungnya. Aku seperti bermimpi, tak ku sangka akhirnya aku bisa
bertemudengan Diana, setelah lima tahun raga kami berpisah. Di bawah
derasnya hujan kami saling berpelukan melepaskan rindu yang telah
menggebu, tak kami hiraukan kendaraan yang melintas, yang sesekali
membunyikan klaksonnya, juga orang-orang yang sejak tadi
memperhatikan kami. Kini seakan kami merasa di dunia ini hanya ada
kami berdua. Aku merasa seperti kembali pada masa lima tahun yang
lalu, menikmati derasnya hujan bersama Diana. Hujan yang menjadi
saksi perpisahan kami, dan kini hujan jugalah yang menjadi saksi
pertemuan kami kembali.
Sekian lah cerita dari saya yang apa adanya, sampai bertemu lagi di postingan selanjutnya, salam sukses.
terlalu mudah untuk di cerna boy..
BalasHapussdah bgus,, mnrt sya msh krg greget, cba deh crta'a di+ dgn prjuangn fikri mncri diana di yogya, atw stlah btmu ad konflik yg lain mncul ntah diana sdh pnya pcar gtu.. skdar saran :-)
BalasHapus