Cerita
ini adalah pengalaman pertamaku yang aku rangkai menjadi sebuah
cerita, Nama tokoh yang terlibat sengaja aku sembunyikan dan
samarkan, selain untuk menjaga privasi
juga karen aaku belum minta izin kepada yang bersangkutan. Cerita
bermula pada tanggal 09 Januari 2014. Pagi itu suasananya masih sepi,
sesekali terdengar suara deru kendaraan melintasi jalan di kawasan
Air Berudang ini, sehingga aku bisa mendengar suara deburan ombak
yang menambrak bebatuan yang membentengi pantai dengan jelas. Adzan
subuh sebentar lagi akan berkumandang, aku bangkit menuju kamar mandi
untuk berwudhu dan kemudian aku sempatkan untuk shalat tahajjud.
Tak
lama kemudian terdengar suara adzan subuh saling bersautan, kedua
temanku yang tengah tertidur pulas seketika terbangun, dengan mata
yang terlihat masih merah dan enggan terbuka mereka mencoba bangkit
dan duduk di tepian ranjang untuk berusaha melawan rasa malas yang
masih melekat. Aku tersenyum kepada mereka dan mereka membalasnya
juga dengan senyuman. Setelah itu, mereka beranjak keluar menuju
kamar mandi dan berwudhu, tak lama kemudian kami bersiap-siap dan
bergegas menuju masjid terdekat.
Usai
shalat subuh, kami kembali berkumbul di kamar, berdiskusi tentang
rencana kami hari ini. Hari ini adalah hari kedua kami di Tapaktuan,
sebenarnya kami telah tiba di Tapaktuan kemarin siang, dan menginap
di rumah budhe ku yang ada di Desa Air Berudang tak jauh dari pusat
kota Tapaktuan. Tapi hari kemarin, kami hanya bermain-main dengan
ombak dan menikmati sunset di belakang rumah. kemudian malamnya kami
ke Pelabuhan, selebihnya kami gunakan untuk beristirahat. Karena aku
pernah tinggal lama di Tapaktuan, maka aku akan jadi guide
mereka, aku akan mengajak mereka ke pelabuhan lagi, tentu saja
suasananya akan berbeda dengan malam hari dan yang pasti agenda utama
kami ke kota ini adalah mengunjungi icon kota ini, kemana lagi kalau
bukan ke gunung lampu, ya di gunung ini terdapat sebuah tapak kaki
raksasa yang konon adalah tapak kaki Tuan Tapa. itulah sebabnya kota
ini dinamai Tapaktuan.
Sedikit
informasi bagi yang belum tau, kota Tapaktuan adalah sebuah kota yang
terletak di sebelah selatan provinsi Aceh sekaligus menjadi ibu kota
Kabupaten Aceh Selatan, letaknya di pesisir samudra Hindia dan
dikelilingi oleh hijaunya pegunungan yang tinggi yang masuk dalam
deretan bukit barisan. Karena itulah kota ini terlihat sangat elok,
bahkan kota ini disebut-sebut sebagai kota terindah di Pulau Sumatera
menurut media cetak yang saya lupa apa namanya. Kota ini terkenal
akan legenda Tuan Tapanya, sehingga banyak tempat-tempat yang
dikait-kaitkan dengan legenda ini, beberapa diantaranya adalah air
terjun tujuh tingkat, tapak tuan tapa, batu itam, batu merah, gunung
putri tidur yang konon hanya bisa terlihat jelas saat pagi atau senja
hari, pulau dua bahkan hingga kepulauan banyak yang kini menjadi
bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Kota ini juga dijuluki sebagai
kota naga, yang mana sosok naga juga menjadi bagian dari legenda ini.
Tak heran jika di kota ini akan banyak kita jumpai patung-patung
naga.
Dan
hari ini, aku bersama kedua temanku, Awan dan Sam, akan menikmati
libur semester di kota ini. Sebelumnya Awan yang mempunyai ide untuk
pergi kesini, mengingat aku pernah bersekolah disini selama tiga
bulan sebelum akhirnya pindah ke SMANSA Gunung Meriah, Aceh Singkil.
perjalanan dari rumahku di Siatas, Simpang Kanan memakan waktu kurang
lebih empat jam, sebelum tiba di kota ini, kita akan menajaki gunung
berkelok-kelok dengan pemandangan yang luar biasa indahnya meski
sedikit mengerikan karena kita berjalan disisi gunung yang dibawahnya
terdapat hamparan laut yang luas, yang sewaktu-waktu bisa saja gunung
ini longsor dan menghantam laut. setelah beberapa lama melintasi
pegunungan, mulai terlihat deretan bangunan di bibir pantai di bawah
sana menandakan bahwa tak lama lagi kita akan tiba di Tapaktuan. Saat
kita melewati pegunungan ada salah satu puncak yang dinamai Puncak
Panorama Hatta, di puncak ini terdapat sebuah bangunan tua yang
dulunya digunakan sebagai tempat peristirahatan salah satu tokoh proklamator, Muhammad Hatta saat beliau berkunjung ke Aceh.
***
Selesai
mandi, kami menuju meja makan dan menyantap makan pagi yang telah
disiapkan oleh keluarga budeku, setelah itu kami duduk sambil
bercerita di teras depan rumah, aku menceritakan rencana kami untuk
mengunjungi gunung lampu atau tapak tuan kepada budeku. Tempat itu
memang sangat keramat, hanya waktu-waktu tertentu saja untuk bisa
mengunjungi tempat itu, itupun harus menjaga lisan dan sikap. Banyak
tragedi maut yang terjadi ditempat ini karena melanggar ketentuan.
Jika kita bicara kotor atau bertindak tidak sopan, konon ombak akan
langsung menggulung kita dan menenggelamkan kelautan. Peristiwa ini
memang sering terjadi, sehingga masyarakat setempat percaya akan hal
itu. Budheku berpesan agar berhati-hati jika ingin kesana. Jika
banyak orang yang pergi kesana maka kami boleh ikut kesana, tapi jika
tidak jangan berani-berani kesana.
Aku
mengangguk mantap, kemudian kami berpamitan dan bergegas. Aku
menyetop angkot yang melintas. Angkot ini hanya akan berhenti sampai
simpang terminal, kami turun disana, di seberang simpang ini berdiri
SMANSA Tapaktuan, disinilah aku dulu bersekolah, salah satu SMA
Favorit di sini setelah SMA Unggul Tapaktuan. Kami berjalan mendekati
gerbang sekolah, ku lemparkan pandanganku melalui celah gerbang
menyisir seluruh bagian sekolah, terlihat ada sedikit perubahan
disana. Gedung sekolah itu terlihat megah dan bertingkat dari depan,
aku masih ingat gedung itu digunakan sebagai ruang TU dan kepala
sekolah, ruang guru, dan ruang kelas inti, sementara di belakangnya
terdapat bangunan yang masih sederhana dan tidak bertingkat. gedung
itu disusun melingkar dan ditengahnya terdapat lapangan dengan rumput
yang hijau, gedung itu digunakan sebagai ruang belajar, perpustakaan,
ruang multimedia, kantin, dan beberapa ruang lainnya, aku juga masih
ingat kelasku dulu X-I berada di sudut kanan yang sebelumnya ada di
depannya, namun terakhir sebelum aku meninggalkan sekolah ini kelas
kami dipindah di pojok paling kanan di belakangnya terdapat kantin. Aku teringat kenangan ketika masih menjadi siswa disini, teringat
bagaimana dulu aku menjadi siswa baru sini, berkenalan dengan
teman-teman baru, dan menjalin pertemanan dengan mereka, di kelas X-I
reguler itu aku di panggil dengan sebutan si manis oleh beberapa
teman sekelasku.
Tak
jauh dari sekolah itu, kami kembali berjalan ke pelabuhan, jaraknya
sebenarnya sangat dekat, persis di hadapan SMANSA Tapaktuan, hanya
saja di halangi oleh rumah-rumah penduduk. Sebelum sampai di
pelabuhan, aku menghentikan langkahku di depan sebuah makam yang
berukuran sangat besar, aku menjelaskan kepada kedua temanku bahwa
itu adalah makam Tuan Tapa, dengan bahasa Indonesia yang mantap, aku
berusaha menjadi guide
yang baik bagi
mereka, hehehe. Barulah setelah itu kami menuju pelabuhan yang jarak hanya
sejauh lemparan batu. Subhanallah,
pemandangan di sini sangat menakjubkan, sejauh mata memandang hamparan
samudra hindia biru di kelilingi hijaunya pegunungan sangat
memanjakan mata siapapun yang melihatnya. Kami tak akan melewatkan
keindahan ini begitu saja, kami pun mengabadikannya di kamera
handphone dan
bergantian menjadi model ataupun kameramennya, gunung yang kami
saksikan saat ini lah yang disebut gunung putri tidur, gunung ini
akan terlihat seperti seorang putri yang sedang tidur jika kita
melihtanya pada saat pagi sebelum matahari terbit atau saat senja,
ketika matahari telah beranjak ke ufuk barat dan sinarnya akan
digantikan oleh bulan. Dalam legenda Tuan Tapa, di gunung inilah
seorang putri bernama putroe
bungsu –putroe adalah putri dalam bahasa Aceh– sedang tertidur bersama seekor naga jantan yang siap
untuk menyantapnya sebelum akhirnya Tuan Tapa menyelamatkan putri
tersebut.
Gunung Putri Tidur
Terlalu asik berfoto, aku hampir lupa tujuan kami untuk mengunjungi tapak Tuan Tapa. Di sebuah gunung, aku melihat beberapa orang
berjalan di kaki gunung itu. Letaknya tak jauh dari pelabuhan, persis
di sebelah kanan pelabunah jika kita menghadap ke laut. gunung itu lah
disebut gunung lampu. Segera aku memanggil kedua temanku untuk
melanjutkan perjalanan menaiki gunung lampu, dari pelabuhan kami
berjalan kaki menyusuri permukiman penduduk, mencari jalan menuju
gunung lampu. Tak lama kemudian, aku melihat penunjuk arah menuju
tapak tuan. Kami mengikuti arah itu, hingga akhirnya kami sampai di
lokasi. Kami menaiki jalan setapak, jalannya sangat kecil, beberapa
meter kami berjalan, kami bisa melihat gelombang laut menghempas
tebing persis di bawah kami, semakin jauh, rute yang kami lewati
semakin sulit, kami harus melewati batu-batuan karang yang licin dan
tajam, jadi kami harus ekstra hati-hati, kalau tidak bisa saja kami
terpeleset dan terjatuh. Di batu-batu besar ini terdapat panah
berwarna merah yang sengaja di buat untuk memudahkan para wisatawan
yang akan mengunjungi tapak tuan tapa.
pelabuhan Tapaktuan
Beberapa
menit berjalan, akhirnya aku mulai bisa melihat tapak tuan dari
puncak batu yang aku naiki, di sana sudah banyak orang yang berfoto,
kami jadi semakin bersemangat dan kembali berjalan mendekatinya. Tiba
disana, aku bisa melihat tapak kaki yang berukuran sangat besar, aku
takjub memandangnya, kata tasbih terucap kembali dari bibirku. Kami
kembali berfoto-foto. Tentu saja bagian ini yang tidak boleh
terlewatkan, kami meminta bantuan seorang kakak untuk mengambil
gambar kami bertiga. Tiga bulan aku tinggal di tapaktuan, pada tahun
2011, belum pernah mengunjungi tempat ini, justru aku bisa kesini
hari ini. Karena banyaknya ketentuan-ketentuan itulah yang membuatku
berpikir ulang untuk pergi kesini.
Tapak Tuan Tapa
Bersama Awan dan Sam di Tapak Tuan Tapa
Masih
dengan berjalan kaki, dari gunung lampu, kami kami beristirahat dan
minum es teh di warung mie aceh dekat pelabuhan, aku memilih tempat
itu, karena itu adalah rumah teman sekelasku dulu di SMANSA Yaitu, namanya Dian, tapi
sayang aku tidak bisa bertemu dengannya, kata ayahnya dia sedang
berada diluar, aku banyak bicara dengan ayahnya Dian, dulu aku sering main ke sini dan ayahnya masih ingat samaku. Kemudian beliau meninggalkan nomor telepon kepadaku.
setelah itu menuju pante cahaya, sebuah toko swalayan yang terletak
di simpang jalan menuju pelabuhan, membeli beberapa makanan ringan serta Awan membeli kado untuk temennya. Setelah itu kami menuju
Masjid Agung Tapaktuan, di masjid ini kami beristirahat sejenak
sambil menunggu waktu shalat Zuhur, sama seperti gunung lampu, ini
kali pertamanya aku menginjakkan kaki di masjid ini, berbeda dengan
pante cahaya tadi, sudah tak terhitung berapa kali aku ke swalayan
itu, hehehe. arsitektur masjid ini sangat indah, interiornya juga,
dengan warna kuning yang mendominasi warnanya, di lantainya terbuat
dari marmer yang sangat bersih, sehingga tak perlu karpet untuk
shalat. Usai shalat, kami beristirahat di teras masjid, dan merancang
rencana kami selanjutnya. Tak perlu waktu lama, akhirnya kami sepakat
untuk menuruti kata lambung yang telah menyampaikan orasinya
menuntut untuk segera diisi.
Masjid Agung Tapaktuan
Setelah
mencari-cari makanan yang cocok, kami memilih untuk makan siomay di
sebuah warung kecil tepat di depan masjid. Ada tiga orang gadis yang
menjaga warung ini salah satunya aku dengar dipanggil dengan sebutan
Dewi. Sesekali aku mencuri pandangan kearahnya, wajahnya terlihat
cantik dan manis, namun bukan karena alasan itu aku terus memandanginya, melainkan karena sepertinya aku pernah mengenalnya, memori otakku kembali mencari-cari
siapa dirinya, aku mengenal seseorang yang mirip dengannya, tapi bukan dengan nama sapaan Dewi, meski memang ada kata Dewi dalam namanya. Aku berdiri, dengan berani aku
dekati dia yang tengah sibuk menumbuk kacang, aku tanya siapa
namanya, dia hanya tersenyum dan menyebutkan kata Dewi, namun aku
mengulang pertanyaanku dan memintanya menyebut nama lengkapnya. Aku
terperanjat mendengar jawabannya, dugaanku benar, dia juga teman
sekelasku dulu, aku menyebutkan namaku. Ternyata dia juga merasakan
hal yang sama denganku, dia bercerita bahwa awalnya dia juga merasa
pernah kenal, namun dia ragu untuk mengatakannya.
Setelah
makan, kami berjalan lagi menuju patung naga, seingat aku patung itu
ada di lereng gunung di ujung jalan, kalau tidak salah itu daerah
Lamprid, tapi rupanya, kami salah jalan, kami sudah sampai diujung
jalan, namun tidak menemukannya. Dengan penuh keyakinan aku belokkan
langkahku ke kiri, kedua temanku hanya mengikutiku, kulihat wajah
mereka penuh dengan keraguan, namun masih tetap percaya kepadaku,
karena aku sudah berpengalaman disini. Dan benar saja, akhirnya kami
tiba di tempat tujuan. Patung itu terdapat di taman kecil, letaknya
dekat dengan perkantoran.
Selesai
dari sana, aku mengajak Awan dan Sam ke rumah budhe ku, dulu selama
sekolah disini, aku tinggal sama beliau setelah pindah dari pamanku.
Rumahnya di rumah dinas polrest Aceh Selatan, kami menuju kesana menaiki becak motor. Sampai disana, ternyata beliau sudah pindah, ku
lihat Awan mulai jengkel karena kelelahan. Aku bertanya pada penduduk
sekitar. Atas petunjuk darinya aku bisa menemukannya, segera aku
mengucap salam dan langsung masuk mencari budeku. Aku dapati beliau sedang sibuk di dapur, karena beliau membuka jasa catering. Aku
menyalaminya, kemudian beliau bergabung dan bercerita kepada kami.
Tak lebih 30 menit, kami berpamitan. Kami berjalan kaki hingga tiba
di koramil di depan rutan, di kompleks ini rumah pamanku, tapi aku
tidak ingin singgah, kami langsung kembali ke rumah budeku yang di
Air Berudang dengan menaiki angkot. Sesampainya dirumah kami Shalat
Ashar dan kemudian langsung tidur karena kelelahan.
***
Keesokan
harinya, kakiku terasa pegal. Tulangku seakan patah semua. Setelah
kemarin berjalan kaki seharian di bawah teriknya sinar matahari. Hari
ini kami tidak akan pergi kemana-mana lagi, meskipun sebenarnya ada
rencana, tapi sepertinya harus dibatalkan. karena keuanganan juga
sudah menipis, hari ini aku membantu nenek – orang tua budeku –
untuk membuat kue pala, umumnya orang menyebutnya manisan pala. Buah
pala adalah komoditi utama di Tapaktuan, tidak hanya manisan pala
saja yang menjadi oleh-oleh khas dari kota Naga ini, tapi juga
beberapa olahan pala lainnya, seperti minyak pala, balsem pala, dan
sirup pala, manisam palanya pun bermacam-macam, ada yang kering dan
adapula yang basah. yang paling terkenal adalah manisan pala yang
kering dengan bentuk bungan mawar dan beraneka macam warna, seperti
yang akan kami buat sekarang ini.
Manisan Pala bentuk mawar
Langkah
awal untuk membuatnya yaitu mengupas tipis kulit pala, aku teringat
dulu sewaktu kecil pernah membaca buku cara membuat manisan pala di
rumah nenekku, yang memang ada banyak buku-buku keterampilan yang di
terbitkan oleh dinas provinsi Aceh, dan tidak di perjual belikan.
Ternyata tak semudah yang di bayangkan, mengupas kulitnya harus
benar-benar tipis, karena daging kulitnyalah yang akan digunakan
untuk manisan. Setelah dikupas buah pala di rendam di air garam,
karena tinggal dekat laut, tak perlu susah memberi air garam, cukup
di rendam dengan air laut saja. Setelah seharian, barulah buah pala
di bentuk dan di ambil bijinya. Ternyata langkah nya cukup sampai
disini, buah pala yang sudah di bentuk di jual ke industri rumahan
yang membuat manisan pala, tadinya aku berpikir, prosesnya akan
selesai sampai pengemasan, dan otomatis aku tidak tau apa langka
selanjutnya.
***
Tiga
hari dua malam, kami di Tapaktuan, hari ini kami putuskan untuk
pulang, setelah semalam telah berunding lagi. Selesai shalat subuh, kami
bergegas merapikan barang-barang bawaan kami dan memastikan tidak ada
yang teringgal. Baru kemudian kami membersihkan dan merapikan kamar
sebelum keluar. Mobil yang akan membawa kami pulang telah di pesan
oleh budheku sejak semalam. Kami duduk di teras depan menghadap ke
jalan, sambil menunggu mobilnya datang.
Beberapa
menit kemudian, sebuah mobil L300 berhenti di depan rumah, supirnya
langsung turun dan mengangkat barang bawaan kami. Aku berpamitan dan
bersalaman kepada semua orang yang ada disana, kemudian masuk kedalam
mobil. Setelah semuanya siap, mobil mulai bergerak, ku lambaikan
tangan kepada keluarga budhe yang sedang menyaksikan kepulangan kami.
Meski tidak terlalu jauh, aku memang jarang mengunjungi mereka,
bagiku perpisahan itu cukup mengharukan,walaupun aku yakin akan bisa
bertemu lagi.
Mobil
terus melaju meninggalkan kota Tapaktuan, sampai di Trumon, kami
berhenti untuk ISOMA (Istirahat, Shalat, Makan). Selang beberapa
menit, kami kembali melanjutkan perjalanan, menuruni gunung dan terus
melaju meninggalkan jejak di belakang. Kami tertidur dalam perjalanan,
sampai di perkebunan kelapa sawit, aku terbangun. Aku lihat
sekelilingku terdapat hamparan pepohonan kelapa sawit, itu menandakan
sebentar lagi kami akan keluar dari Aceh Selatan dan memasuki Kota
Subulussalam. Mobil kembali berhenti di pusat kota Subulussalam, hanya beberapa menit saja. kemudian kembali melaju, hingga memasuki Kabupaten Aceh Singkil, di Kecamatan Suro, Kemudian terus melaju hingga Kecamatan Simpang Kanan, dan akhirnya kami
berhenti dan turun di depan rumah nenekku, yang juga menjadi tempat
kami berangkat ke Tapaktuan beberapa hari lalu. Kedatangan kami
langsung disambut oleh nenekku, bibikku, dan beberapa sepupuku,
Setelah semua barang di turunkan, kami langsung pulang kerumahku.
Sore
harinya Awan dan Sam berpamitan pulang. Meski liburan masih panjang,
tapi cerita liburanku telah berakhir sampai di sini, selanjutnya aku
hanya berdiam diri dirumah, melakukan apa saja yang bisa aku lakukan.
Itulah kisah ku bersama kedua temanku menjelajahi Kota Naga,
Tapaktuan, menemukan keajaiban sang Maha Pencipta. Sebuah perjalanan
yang memberikan arti betapa besarnya Kuasa sang Ilahi yang telah
menciptakan bumi dengan segala isinya yang begitu luar biasa. Satu
kata yang bisa terucap, Subhanallah. Begitu indahnya
bumi serambi mekkah ini, betapa luar biasanya Indonesia ini.
Oleh :Iky
Adrilianto
Yogyakarta,
01 Januari 2016
0 komentar:
Posting Komentar