Assalamualaikum, selamat siang para sahabat, semoga selalu dalam keadaan yang baik, selamat datang di blog saya yang masih berantakan ini, belum sempat buat ngerapinnya, maaf ya. Kali ini saya mau ngepost cerpennya Iky Adrilianto lagi, yang judulnya Pelangi Selepas Senja, berbeda dengan karya lainnya yang biasanya di ambil dari pengalaman pribadi, cerita kali ini benar-benar fiksi meski alur ceritanya berbeda dari kerangkanya. cerita ini di dasari dari cerita sebelumnya yaitu Menunggu Senja di Terminal Giwangan. dan ini adalah lanjutan dari cerpen tersebut. bagi kamu yang belum membaca Menunggu Senja di Terminal Giwangan. silahkan dibaca dulu, biar ceritanya nyambung. oke, baiklah sahabat, selamat membaca!
Pelangi Selepas Senja
Hari itu, aku baru saja pulang dari kampus dan
singgah ke supermarket, aku bertemu dengan seorang wanita di supermarket. Aku sangat
mengenal wanita itu, senang rasanya bisa bertemu dengannya lagi. Wanita itu
terlihat sedang mencari sesuatu di bagian kosmetik. Usai mengambil keranjang
belanja, aku langsung menghampirinya.
“Hei, apa kabar?” Sapaku pada wanita
itu.
“astaghfirullah. Ari, kau
mengagetkanku saja” Ia mengelus dadanya, namun tetap menyunggingkan senyumnya.
Ya Tuhan, senyum itu…
“Kau masih mengingatku? Lagi belanja
juga ya?” Tanyaku basa-basi.
“Enggak, Cuma lagi karaokean aja. Ya
iyalah belanja, memangnya apa yang dilakukan orang di supermarket, pertanyaan
macam apa itu.” Dia menjawab dengan sedikit bergurau.
“Ya, kali aja mau nyolong,” seakan tak
mau kalah aku membalasnya dengan gurauan juga.
“Enak aja,” Ia mengambil sebuah
sabun pencuci wajah, kemudian memukulkannya kedahiku dengan pelan sebelum
memasukkannya ke dalam troli.
“Bagaimana kabar Senja sekarang,
sudah lama aku tak dapat kabar darinya.” Kali ini nada bicaraku ku buat serius,
aku terus mengikutinya dari belakang ketika ia berjalan menuju bagian makanan.
Ia membalikkan tubuhnya menatapku, “Aku
juga tidak tahu, dia bahkan tidak pernah menghubungiku?” tiba-tiba mimikwajahnya
berubah. Sambil memeluk sekaleng wafer didadanya, ia memandang kearah troli,
tapi aku bisa melihat itu adalah tatapan kosong.
“Kenapa?” Aku mendekatinya dengan
alis terkerut dan bertanya padanya.
Dia tersentak, kemudian memasukkan
kaleng wafer itu kedalam trolinya, “Tidak apa-apa.”dia kembali mendorong troli
belanjaannya. “Aku tahu kau menyukainya,” Katanya tiba-tiba saat kami sampai di
ujung koridor diantara rak-rak makanan.
“Dari mana kau bisa seyakin itu?”
Aku masih saja terus mengikutinya, kali ini dia berputar balik ke rak yang
berada di balik rak yang tadi.
“Itu sangat mudah, aku ini mahasiswi
psikologi, ya meskipun belum pernah aku pelajari, tapi aku tau menilai
seseorang yang sedang tertarik sama seseorang,”ia berjalan pelan matanya
mengawasi satu persatu makanan ringan yang disusun rapi di atas rak.
Aku berhenti sejenak, memikirkan
sesuatu, kemudian dengan cepat menyusulnya kembali,“Apa menurutmu Senja juga
tertarik padaku?”
Dia berhenti sebentar dan berdiam
diri, entah apa yang sedang dipikirkannya, kemudian dia kembali membalikkan
tubuhnya menghadapku. “mmm, sepertinya kau datang kesini untuk belanja bukan?”
ia menatap keranjangku yang masih kosong, “Dan sepertinya, troliku sudah mulai
penuh, aku harus ke kasir sekarang.”
“Oh iya, benar juga, aku sampai lupa
belum mengambil apa-apa, oke, terimakasih, dan sampai ketemu lagi,” aku
berjalan berbalik arah.Langkahku terhenti di depan rak sayur,merenung sejenak,aku
sampai lupa apa yang ingin ku beli tadi. Ya Tuhan sepertinya pikiranku sedang
kacau.Otakku selalu tak bisa berpikir normal saat aku kembali teringat akan
Senja.
Sudah dua tahun sejak Senja mengatakan
dirinya pergi ke Singapura. Hidupku kembali seperti semula, seperti saat aku
belum bertemu dengannya. Tapi ada sedikit perberbedaan, bayangannya seakan
tetap tinggal bersamaku, yang terkadang sering berputar-putar di otakku. Disaat
aku benar-benar merindukannya, secara kebetulan pula aku bertemu sahabatnya
tadi di supermarket, membuatku seakan merasakan kehadiran Senja kembali.
***
Aku baru saja tiba di kamar kostku, meletakkan kantung
belanjaanku di lantai. Pikiranku kembali kepada gadis tadi, sepertinya dia
sengaja menghindar dari pertanyaanku tadi. Aku mendesah pelah, batinku berbisik
kenapa tadi aku tidak menanyakan namanya sekaligus
meminta nomor teleponnya, supaya aku bisa menanyakan kabar Senja darinya.
Ponselku tiba-tiba bergetar di dalam
saku, membuyarkan lamunanku. Aku meraihnya dan membaca sebuah pesan masuk, dari
Ifan. Dia mengajakku untuk makan malam di sebuah restoran tempat kami biasa
berkumpul bersama teman-teman yang lain. Segera aku bangkit menjumput handuk,
dan bergerak menuju kamar mandi.
Beberapa menit kemudian aku sudah
turun dari halte Trans Jogja, saat aku berjalan melewati zebra cross, terdengar bunyi klakson dan tiba-tiba aku merasa ada seseorang
yang mendorongku dari belakang, sontak aku terkejut dan membalikkan tubuhku,
saat orang itu akan terjatuh, aku berhasil meraih sikunya. Dan saat itu pula ia
membuka matanya yang membuat mata kami saling bertatapan. Mata itu, mengingatkan
aku saat pertama kali aku menatap mata Senja didalam bis. Dua bola mata yang
indah yang mampu membuatku susah tidur.
Segera aku membantunya berdiri dan
membawanya ke trotoar, saat aku mendengar lagi bunyi klakson yang
membangunkanku dari dunia khayalku. “Kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi
padamu? Kenapa kau bisa terjatuh?” Aku langsung melontarkan rentetan pertanyaan
padanya, ketika kami berdua baru saja tiba di trotoar.
Orang itu tak langsung menjawab, ia
memalingkan wajahnya, dan hendak melangkahkan kakinya untuk pergi. “Hei, tunggu
dulu,” Aku mencegahnya sebelum ia melangkah lebih jauh, dan tanpa sadar
tanganku menarik pergelangan tangannya, “Kalau kau tak mau menjawab
pertanyaanku, setidaknya kau berterimakasih padaku, tanpaku mungkin kau sudah
terbaring di rumah sakit sekarang.”
Ia berhenti, menatap pergelangan
tangan kananya dalam genggamannya, seketika itu juga aku melepaskan
genggamanku. “Maaf Ri, aku bersikap seperti orang bodoh, tadi saat aku hendak
menyeberang tiba-tiba ada mobil yang melaju kencang persis mengarahku dan aku
langsung berlari, tapi kakiku keseleo dan tanpa sengaja menambrak punggungmu,”
dia diam sejenak, “dan terimakasih sudah menyelamatkanku,” lanjutnya.
“Kau mau kemana? Kenapa terburu-buru
begitu? tadi sore kau masih terlihat baik-baik saja, kenapa kau seperti
menghindar dariku sejak tadi sore?”
“Mmmm, aku tidak punya alasan untuk
menghindar darimu,”dia menggigit bibirnya sepertinya dia sedang memikirkan
kata-kata lalu, “Aku tadi cuma malu aja waktu aku tau bahwa kau yang
menolongku, ya seperti itulah.”
“Mmm, jadi itu yang membuatmu salah
tingkah begitu?... Sudahlah lupakan saja, kau mau kemana sekarang? Gimana kalau
kau ikut denganku?” Aku mengajaknya dengan alis terangkat.
Dia menatapku dengan alis berkerut
heran, sebenarnya aku tau maksudnya, dia pasti bertanya aku akan membawanya
kemana, tapi aku menunggu ucapan itu keluar dari bibirnya, “Kemana?” tak perlu
waktu lama akhirnya dugaanku benar.
“Makan malam dengan teman-temanku,
kau mau ikut? Atau mungkin kau sedang ada janji dengan seseorang?”
“Tidak, aku tidak ada janji dengan
siapapun, mmm… baiklah, aku ikut denganmu, ayo.”
Selesai acara makan malam, aku
pulang bersama Alfi, gadis yang tadi menambrak punggungku sekaligus orang yang
aku temui di supermarket tadi sore. Aku berniat menemaninya sampai ke kostnya, sebenarnya
supaya aku bisa bertanya lebih jauh tentang Senja. Aku baru mengetahui namanya
saat perjalanan menuju restoran tadi. “Teman-temanku asyik bukan?Kau terlihat
senang mengobrol dengan mereka meskipun baru kenal” Aku membuka percakapan sambil
berjalan menyusulnya dari belakang.
“Ya begitulah. Tapi, aku sedikit
terkejut saat kita baru saja datang tadi, bagaimana mungkin mereka bisa mengira
bahwa kita pacaran?”
“Mungkin menurut pandangan mereka
kita cocok, lagipula sepertinya kau memiliki kemiripan dengan Senja” Jawabku
asal mencoba menebak-nebak.
“Kau mencoba merayuku disaat Senja
tidak ada, bahkan ingin menyamakan dia denganku, kau benar-benar keterlaluan,
seandainya Senja mendengar hal ini.” Tiba-tiba ia berhenti melangkah,
memiringkan kepalanya ke kanan sambil menatapku,“Atau memang kau sering merayu
semua gadis yang kau temui.”
Aku balas menatapnya dengan senyum,
“Tak ada salahnya mencoba kan? Oh ya, liburan nanti, rencananya aku akan pergi
ke Singapurasupaya aku bisa bertemu Senja, aku benar-benar merindukannya, kau
punya alamatnya?”Belum sempat ia menjawab, aku kembali melanjutkan perkataanku,
“Tadinya aku mau minta langsung ke dia melalui e-mail, tapi setelah aku pikir-pikir,
selain aku tidak yakin dia masih menggunakan e-mailnya atau tidak, aku juga
ingin memberi kejutan padanya, bagaimana menurutmu?”
“Eh Ri, aku harus pulang sekarang, sepertinya
kau tak perlu repot-repot mengantarku pulang, sudah terlalu malam, aku takut kau
tidak dapat bis untuk pulang, kau tak usah mencemaskanku, akubisa pulang naik
taksi,” ia berbalik arahdan sebelum ia melangkahkan kakinya, ia kembali membalikkan
pandangannya kearahku yang sejak tadidiam membatu memperhatikannya, “Oh ya,
terimakasih atas teraktirannya tadi, assalamualaikum.”
Aku masih tetap berdiri memandangnya
dengan tatapan tanya, kenapa lagi-lagi dia seperti menghindar. Ku perhatikan
jarinya sibuk menari-nari diatas layar ponselnya setelah ia berdiri di tepi
jalan tak jauh dari tempatku berdiri. Beberapa menit kemudian sebuah taksi
menghampirinya ––sepertinya dia memesan taksi lewat aplikasi–– Sesaat sebelum
ia masuk kedalam taksi, ia melihat kearahku dan melambaikan tangan kanannya
sambil tersenyum.
Mataku terus memandangi kearah taksi
itu melaju, pikiranku kembali kacau, bukan karena dia yang lagi-lagi menghindar
dariku, tapi karena sesuatu yang mengingatkanku kembali pada sosok Senja.
Sesuatu itu adalah sorot mata Alfi dan juga senyumannya yang persis sama
seperti Senja. “Ngomong-ngomong apa kabar
dia sekarang ya?” batinku berbisik.
***
Beberapa
Bulan kemudian
Kemana
anak itu? Aku sedang duduk di food
courttaman JEC, mengaduk-ngaduk minumanku sambil bertanya pada diri sendiri
dalam hati. Sejak acara makan malam beberapa waktu lalu itu, Alfi tak lagi
penah menampakkan wajahnya, sialnya aku tak sempat meminta nomor teleponnya
waktu itu, alamat bahka kampusnya pun aku tak tau. Aku mendesah kesal tanpa ku
sadari tanganku memukul meja cukup keras. Di saat itu juga Ifan datang membawa
semangkuk mie ayam.
“Ngapain lu?” Tanyanya setelah ia
duduk di kursi sebelah yang dipisahkan oleh meja.
“Eh, kenapa? Oh. Enggak, gak
apa-apa,” aku bingung harus menjawab apa.
“Bagaimana? Kau jadi mau ke
Singapura besok lusa?” Ifan bertanya sambil menyantap mienya.
“Entahlah, aku belum dapat alamatnya
Senja.Kau jadi ikut?
“Kenapa kau harus mencarinya lagi,
tak bisakah kita ke Singapura hanya untuk menikmati liburan tanpa harus
disibukkan dengan mencari seseorang yang tak jelas dimana dia berpijak.” Ia
menghentikan makannya sejenak dan menatapku lalu kembali melanjutkan makannya.
“Kau tak pernah tau apa yang aku
rasakan.”
Ia menatap wajahku dengan tajam
sambil masih tetap mengunyah makanannya, “Terserah kau saja lah, aku sudah
berkali-kali mengingatkan kenapa kau tak mencoba melupakannya, jika memang kau
masih menyukainya apa salahnya kau menelponnya dan nyatakan perasaanmu padanya,
agar kau tak terus-terusan gila karena terlalu berharap padanya… sepertinya
selera makanku hilang.” Ia bangkit dan pergi entah kemana.
Perkataan Ifan tadi masih
mengiang-ngiang di telingaku, ada benarnya juga perkataannya tadi, kenapa aku
tak pernah mencoba menelpon Senja dan langsung berterus terang padanya, jika
memang dia memang menolakku, setidaknya aku tidak akan terus-terus menunggunya.
Aku berjalan tak jauh dari tempat dudukku. Di dekat air mancur, aku mencari
nomor Senja yang dulu mengirimiku pesan. Beberapa saat kemudian telepon
tersambung, jantungku serasa berhenti berdetak hingga terdengar suara
diseberang sana, barulah aku bisa kembali bernapas lega, namun jantungku malah
semakin berpacu cepat.
“Halo, assalamualaikum,” Suara itu
terdengar jelas, sangat jelas. Rasanya aku tidak hanya mendengar suara itu di
telepon, sepertinya suara itu ada di dekat ku “Halo, assalamualaikum, dengan
siapa?” ia mengulang perkataannya karena aku hanya terdiam mendengar suaranya.
Dan benar saja suaranya semakin jelas terdengar, aku membalikkan tubuhku,
beberapa langkah dari tempatku berdiri, ada seseorang wanita mengenakan
kerudung biru muda sedang duduk bersama kedua temannya, tangan kanannya
memegang ponsel ditelinganya.Ia berbicara kepada kedua temannya kemudian
beranjak dari kursi nya dan berbalik arahhendak berjalan sambil berkata “Halo
ini dengan siapa?” Suara wanita itu terdengar jelas juga di ponselku. Ia
terkejut menatapku, begitupun aku.
“Kau?” Aku masih menempelkan
ponselku di telingaku.
Ia menurunkan tangannya yang
memegang ponsel, “A.. Ari, kau yang menelpon barusan?” ia bertanya dengan
terbata-bata, dan aku hanya menjawabnya dengan menganggukkan kepala. “Aku bisa
menjelaskan ini semua,”
“Apa yang ingin kau jelaskan? Jadi
selama ini kau menipuku?” nada bicaraku terdengar agak tinggi, sehingga semua
orang di sekitar menatapku dengan curiga.
“Tenang dulu, biar aku jelaskan
semuanya, tapi tidak disini, aku ingin bicara empat mata denganmu, kita ketemu
di Grhatama Pustaka nanti. Aku tunggu di ruang duduk lantai dasar.” Ia kembali
ke mejanya menjuput tasnya dan beranjak pergi diikuti oleh teman-temannya.
Aku berjalan sendirian menuju
Grhatama Pustaka yang letaknya bersebelahan dengan gedung JEC, meninggalkan
Ifan yang tak tau dimana wujudnya sekarang. Aku masih penasaran penjelasan apa
yang akan di katakannya.
Tiba di Grhartama kau langsung turun
ke lantai dasar, aku melihatnya duduk seorang diri sambil membaca buku,
“Duduklah!” perintahnya ketika menyadari kehadiranku.
Aku menuruti perintahnya, aku
bernapas lebih cepat, jantungku pun tak kalah cepatnya berdenyut, telingaku
terasa panas, pasti dia bisa melihat eksperi marah di wajahku. “Apa yang ingin
kau jelaskan?” Tanyaku setelah beberapa saat. Ia hanya menunduk dan menahan
tangis, aku kembali bertanya padanya kali ini nada suaraku aku rendahkan,
“Alfi, apa kau mendengar ucapanku?”
“Maafkan aku Ri, aku terpaksa
melakukan ini semua, tapi jujur, bukan karena…” ia tak menyelesaikan
perkataannya dan mengalihkan pandangannya ke aquarium, “Apa kau tahu alasan
Senja pergi ke Singapura?” Katanya kemudian.
Aku berdeham sambil mencoba
mengingat-ingat, “Tidak, dia tidak memberitahuku alasannya, dan akupun tak
pernah menanyakannya, aku kira dia ingin melanjutkan pendidikannya disana.”
“Kamu salah,” Aku memperhatikan
wajahnya, terlihat butiran bening mulai mengalir dari pipinya, “mungkin kau
masih ingat saat kalian tengah duduk menikmati es krim, dan saat itu aku datang
menjemputnya,” dia kembali menatapku sambil mengusap air matanya, sementara aku
mencondongkan tubuhku kedepan dengan tangan kiri terkepal menopang kepala.
Tanpa menunggu jawaban dari ku ia
terus melanjutkan penjelasannya, “Saat itu, dia memberitahuku lewat pesan
singkat, dia bilang lututnya terasa nyeri, aku disuruh menjemputnya dan
melarangku untuk memasang wajah panik.”
“Terus,” aku memotong ucapannya
kemudian menggeserkan kursiku berdempetandengan kursinya.
“Dan sejak saat itu, dia di rawat di
rumah sakit, kondisinya semakain memburuk, sehingga ia terpaksa di bawa ke
Singapura. Ia berpesan padaku untuk mengirim pesan kepadamu, untuk memastikan
bahwa dia tetap baik-baik saja,”
“Jadi, nomor itu memang nomormu?” Aku
bertanya padanya, sekilas aku tersadar kenapa aku malah bertanya hal yang tidak
penting, kenapa bukan tentang kesehatan Senja. Ketika aku ingin berbicara lagi,
ia sudah lebih dulu menjawab pertanyaanku.
“Bukan, itu memang nomornya Senja,
tapi aku sekarang aku yang memegangnya,”
“Lalu, bagaimana keadaan Senja
sekarang? Apa dia masih di rawat di rumah sakit do Singapura, katakana padaku
dimana dia di rawat aku akan pergi ke Singapura besok lusa dan akan aku
pastikan aku akan menemuinya,” Aku berkata tanpa jeda, air mataku juga turut
mengalir tanpa sadar.
Alfi menundukkan kepalanya dan
menutupnya dengan kedua tangannya, “Senja…. Dia… dia sudah pergi untuk selama-lamanya
satu tahun yang lalu.” Ia semakin terisak.
“Apa? Kamu gak mengada-ngada kan?”
tanyaku masih belum yakin dengan apa yang dikatakannya tadi.
“Bagaimana mungkin aku bisa
mengarang cerita bahwa saudaraku meninggal dunia? Saat itu aku berharap dia
bisa sembuh, aku ingin kalian bisa bersatu, sebab itu aku mengatakan dalam
pesan itu bahwa dia akan kembali.”
“Saudara?” aku bingung dengan
perkataannya.
“Aku dengan Senja adalah saudara
kembar, dia terlahir lebih dulu, dan dia mengidap penyakit hemofilia dari
ayahku, karena itulah aku selalu berusaha menghindar darimu saat kau bertanya
tentang Senja, sebab aku selalu teringat padanya setiap kali bertemu denganmu.”
Secara naluri, tangan kiriku
merangkul bahunya dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Ia menangis di bahuku
hingga membasahi bajuku, sesaat dia tersentak, dan mengangkat kepalanya, “Maaf.”
Ia mengusap air matanya. Ia megeluarkan tisu dan menyodorkannya padaku, “Kenapa
kau ikut menangis?” katanya sambil tersenyum, lagi-lagi senyum itu mampu
membangkitkan semangatku, seakan mematahkan kesedihanku.
Aku memaksakan tersenyum padanya,
“Terimakasih, kau juga tak perlu menangis, aku khawatir bajuku akan basah
semua, sebab aku tak membawa baju ganti,” aku masih bisa bergurau mencoba
menenangkannya.
***
Setelah mendengar kabar kematian
Senja, aku sempat sangat tertekan, bebrapa hari aku tak bisa beraktivitas
dengan lancer, aku selalu teringat akan dirinya. Tapi, dengan hadirnya Alfi,
yang ternyata adalah saudara kembar Senja membantuku untuk bisa lepas dari masa
lalu, mereka memang saudara kembar, tapi mereka tidak persis mirip. Namun,
tatapan mata dan cara mereka tersenyum terlihat sama. Alfi kini sering
menemaniku, dan membantuku banyak hal, salah satunya adalah membantuku untuk move on. Masuknya dia dalam hidupku
seolah menjadi pengganti Senja, dan sepertinya aku juga mulai tertarik padanya.
Enam
bulanberikutnya.
Aku menatap batu nisan di hadapanku
yang bertuliskan Seftia Alfiani. Alfi menepati janjinya waktu itu untuk
membawaku ke makam Senja di Surabaya, kami baru bisa kesini setelah mendapat
libur panjang semester.
“Jadi sebenarnya namanya adalah
Seftia Alfiani, dan aku Seftia Alfiana,”Alfi seolah bisa membaca apa yang aku
pikirkan, Setelah memanjatkan do’a dan menaburkan bunga kemakam kakaknya.
“Kenapa dia di panggil senja?” aku
masih jongkok di samping makamnya dan mendongak menatap Alfi yang berdiri
membawa keranjang berisi bunga.
“Dia bercerita banyak hal tentang
kamu, dia tertarik padamu sejak pertama kali dia bertemu denganmu, dia bilang
kamu laki-laki yang bertanggung jawab dan mengayomi perempuan, dia bilang kamu
rela berdiri untuk memberinya tempat duduk.” Ia ikut berjongkok, kemudian
melanjutkan ucapannya “Dia sangat menyukai langit senja, sangat indah, di waktu
itu, banyak orang berbondong-bondong menuju ke masjid untuk shalat magrib,
memohon kepada tuhannya.”
Aku menganga menatapnya, tak
mengerti arah pembicaraannya. Namun dia tersenyum dan sepertinya mengerti
maksdudku lalu dia kembali bergumam, “Karena itulah, ketika kau bertanya siapa
namanya dia menjawab Senja. Alasannya karena kau telah menjadikan hidupnya
terasa indah, ia lupa akan penyakit yang dideritanya, dan kau juga selalu ada
dalam do’a-do’anya, nenek kami juga dulu memanggilnya Senja, karena kita berdua
lahir di waktu azan magrib. Tapi, ketika aku bertanya apakah dia berdo’a agar
kau berjodoh dengannya, dia menggeleng, lantas dia menjawab, ‘orang seperti dia
tidak pantas bersamaku yang penyakitan, kasian dia, aku berdo’a agar dia di
berikan yang terbaik.’ Dia menjawab seperti itu sebelum akhirnya ia mengucap
dua kaliamat syahadat di detik-detik sakaratul mautnya.”
“Romantis sekali, aku rasa do’anya
sudah terkabul,”aku mencoba bergurau, lalu berdiri dan diikuti oleh Alfi,
“Alfi, apa boleh aku memanggilmu pelangi?”
Alfi yang tadinya menunduk
memalingkan wajahnya kearahku, dia kembali tersenyum meski aku bisa melihat
matanya berkaca-kaca, lalu ia
berkata“Kenapa?”
“Mungkin kamu adalah jawaban dari
do’a-do’a Senja.”aku berjalan mendekat kearahnya.
“Maksudmu? Dan apa hubungannya
dengan pelangi?” Suaranya terdengar serius ia terus menatapku dengan tajam.
“Karena kau telah mewarnai hidupku
kembali, disaat kesedihanku dan mampu menghapusnya. Seperti halnya pelangi yang
datang setelah hujan turun, benar-benar indah, begitupun kamu yang telah
memperindah duniaku dengan sejuta warnamu.” Aku mendekatkan wajahku kewajahnya.
“Karena kau seorang psikolog, sepertinya aku tak perlu menjelaskan apa yang aku
rasakan padamu.” Aku kembali melanjutkan ketika mata kami saling bertemu.
“Ya, aku tau itu,” jeda
sebentar“Ari, kau tahu, sebenarnnya kau juga,” katanya kemudian, “Kau juga
telah memberi warna dihidupku, dulu aku tak pernah percayapada Senja yang
langsung jatuh hati pada pandangan pertama, mungkin kini aku tau alasan mengapa
Senja bisa menyukaimu, karena aku pun mulai menyukaimu, di saat kau menatap
mataku di supermarket waktu itu. Aku curiga jangan-jangan kau memakai pelet.” Dia tertawa di ujung ucapannya, seketika itu kami
telah berjalan keluar dari komplek pemakaman. Terimakasih Senja, atas do’a mu kini aku telah mendapatkan yang
terbaik, meski sesungguhnya aku masih sangat mencintaimu.
Iky
Adrilianto, 16 – 17 April 2016
apa itu ya?? kos gak keliatan (idung di tutupin)
BalasHapusopo sih?
HapusAlur ceritanya bagus ki, seolah olah kejadiannya memang bneran terjadi, isinya bisa mengajak si pembaca seakan akan ngerasain langsung kejadian itu.. Isi ceritanya bagus,detail, menarik lah untuk di baca.. Good job lanjutkann
BalasHapusapresiasinya keren. thanks banget.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus