Langit berjubah
mendung. Tak lama kemudian awan-awan meneteskan butir-butir gerimis. Bumi Yogya
bermandi air hujan di sore hari. Beruntung aku membawa payung, karena tadi pagi
juga hujan. Usai mata kuliah PKn, semua anak KPI C berhambur ke luar kelas. Aku
menuruni tangga dari lantai tiga. Di koridor bawah aku melihat Risa sedang
duduk di bangku sendirian.
“Nunggu siapa,
Risa?” tanyaku pada wanita berjilbab biru muda itu.
“Nunggu hujan
reda,” jawabnya santai.
Suaranya hampir
tidak terdengar, diredam gemuruh suara hujan.
“Jalan bareng,
yuk! Aku bawa payung.” Tanganku membuka retseleting tas dan menjumput gagang
payung, kemudian memekarkannya.
“Wah... kebetulan
nih. Iya boleh, aku ikut nebeng,” sahutnya sumringah. Senyum merekah
dibibirnya. Indah.
Risa kawan baruku.
Anak IKS. Aku mengenalnya tiga minggu yang lalu saat diklat LPM Rhetor. Tiap
pekan kita bertemu dalam diskusi redaksi.
Kami berdua
berjalan sejajar. Bernaung di bawah payung hijau. Irama gerimis terdengar
merdu. Kawan-kawanku yang lain juga ada yang membawa payung untuk pulang dari
kampus. Beberapa mengenakan mantel untuk menerjang gerimis yang masih betah
bersenandung.
“Fahri, kostmu
dimana?” Risa bertanya.
“Di Jalan Suroto,
dekat perpus kota.”
“Kalau aku di
Lempuyangan, tinggal di rumah Budhe.”
“Sa, apa kamu suka
hujan?”
“Tentu. Hujan itu
tamu yang baik. Saat hujan datang, do’a manusia akan dijabah. Mungkin Tuhan
tahu, kita ini terlalu sibuk dan jarang berdo’a. Dia berbaik hati dengan
memerintahkan milyaran butir-butir air untuk terjun ke bumi. Alasannya agar
manusia tidak dulu banyak kesibukan, berteduh sejenak, atau rehat dirumah,
merenung dan memanjatkan do’a – do’a yang baik,” urai Risa. Panjang lebar,
namun asyik disimak.
“Benar, katamu.
Sayangnya ada saja yang tidak bermunajat malah ia berkeluh kesah dan jengkel
pada hujan yang tak berdosa,” sahutku.
Kami terus
berbincang sambil berjalan. Aku merasa nyaman dan senang bersamanya. Langkah
kaki kami telah sampai di halte Trans Jogja. Risa keluar dari payungku dan
mengucapkan terimakasih.
“Aku duluan ya!”
tukasku padanya.
Ia mengangguk dan
menguntai sanyum. Manis sekali. Lalu aku menyebrang jalan. Melanjutkan gerak
kaki untuk sampai ke kost.
***
Hari Selasa hanya
ada satu mata kuliah. Kini aku berada di perpustakaan kampus. Suasananya nyaman
dan sejuk. Banyak mahasiswa di sini kusyuk membaca. Beberapa yang lain
berdiskusi mengerjakan tugas kelompok.
Di lantai dua, aku
masuk ke ruang serial, mengambil surat kabar. Aku duduk di kursi empuk dan
membaca rubrik kesukaanku. Kursi di sebelah kiriku yang berjarak 50 senti
berdecit pelan. Ada seseorang yang menarik punggung kursi, lalu ia duduk di
pangkuannya. Kepalaku menoleh. Aih... aku tak asing wajahnya.
“Hai Sa, sedang
baca apa?”
“Ini, majalah
sastra. Kau disini rupanya?!”
Muka Risa
menghadap ke mukaku. Kedua mataku bisa menangkap sempurna wajahnya yang berhias
senyum. Lesung pipitnya terbit di kanan-kiri wajah ramahnya.
“Eh... iya.”
Hampir 20 detik kata itu baru terucap.
“Sa, sastrawan
yang kamu sukai siapa?” lanjutku
“Aku suka Ahmad
Tohari,” jawabnya sambil membalikhalaman majalah.”Oh iya, aku juga suka kamu.”
Aku senang
mendengar kalimat itu. Kenapa jantungku berdebar? Perasaan macam apakah ini?
“...suka karyamu.
Puisimu minggu lalu dimuat surat kabar, kan?”
“Iya.” Suaraku
pelan. Mukaku perlahan memerah. Di hati ada rasa sungkan, namun juga senang.
“Waktu SMA aku
juga pernah baca puisimu yang dimuat di majalah sastra ini. Puisimu ringkas
namun kaya makna, bahasa puitismu khas, indah.” Ia menunjukkan kaver majalah
itu padaku.
Tuhan, ternyata
dulu engkau pernah mempertemukan aku dengannya lewat sajak yang sederhana.
Terima kasih.
“Terim kasih atas
apresiasinya, Risa.”
***
Dirantau ini,
wajar bila kau harus mandiri. Aku telah dewasa, tak ingin orang tuaku mengirimi
uang untuk biaya hidup dan kuliahku. Aku kerja paruh waktu di tempat foto
kopian dekat kampus. Sekarang masih tanggal muda, baru kemarin aku terima
gajian. Aku sudah membeli buku baru: kumpulan cerpen <I>Berjuta
Rasanya<P>. Buku ini akan kuhadiahkan buat Risa, meski tanggal sekarang
tidak ulang tahunnya. Menurutku, memberi hadiah tak perlu menunggu setahun,
atau mesti pada tanggal dan bulan kelahirannya.
Aku mengirim SMA
pada Risa, ketemuan di depan gedung Multy Purpose pukul 16.40. Pemandangan sore
ini di kampus, mahasiswa berlintasan hendak pulang. ada yang mengendarai motor
sendirian, berboncengan dengan teman, dijemput orangtua. Ada yang bersepeda,
menunggu bus, jalan kaki, termasuk aku. Dan ada yang masih duduk-duduk di
bangku melingkar di bawah pohon beringin besar. Ada yang antre membeli es,
siomay, batagor dan yang lain.
Langkah kakiku
berbeda dengan teman-teman lain, nampak tergesa dan gelisah. Apa pasal? Aku
terlambat 15 menit atas jadwal bertemu Risa. Aku merasa tak enak hati
membuatnya jadi menunggu.
“Maaf, Sa, baru
bisa sampai sini,” ucapku sembari mengusap peluh di pipi kanan.
“Tak masalah,”
sahutnya santai, mukanya tetap berseri, senyumnya terkulum.
Lalu aku duduk di
sebelah Risa, di bangku bawah pohon beringin yang berangin segar. Aku mengatur
napas, mendamaikan rusuh di hatidan menata diri.
“Sebenarnya aku
mau memberimu sesuatu yang aku kira kau akan menyukainya. Tapi maaf, Sa,
mungkin karen akau teledor, barang itu hilang. Tadi aku sempat mencarinya lama,
namun tak kunjung ketemu,” jelasku. “Mungkin besok bisa kutemukan.”
Bibir Risa
membentuk pelangi terbalik, senyum terbaik. Ajaib.
“Wah...
terimakasih Fahri niat baikmu. Aku jadi terharu.” Dia tertawa kecil, mencairkan
suasana.
“Nampaknya senja
sudah sampai di depan beranda rumah, Fahri. Sebentar lagi ia menutup pintu dan
menyembunyikan cahayanya. Yuk, kita pulang!”
“Ayo...”jawabku
bergairah.
Aku dan dia
bangkit, berjalan bersampingan. Nyaman dan senang. Belum sukses aku memberi
hadiah padanya namun Risa sudah memberiku hadiah indah. Hadiah yang tak berupa
benda yang dapat di pegang kedua tanganku. Hadiah itu senyum manisnya, sikap
anggun-ramahnya, kata-kata santun dan bermaknanya yang hanya bisa disentuh
tangan hati.
Amin sahri
Mahasiswa KPI
UIN
Sunan Kalijaga
Yogyakarta
(pernah dimuat di Koran Minggu Pagi)
0 komentar:
Posting Komentar