Terminal Giwangan
Sebelum
pukul 07.00, aku telah bergegas menuju kampus, aku berjalan menuju
halte trans jogja tak jauh dari rumah kost tempat aku tinggal. Selama
beberapa menit kemudian, sebuah bus berwarna hijau tampak di kejauhan
bergerak mendekati halte kemudian berhenti, segera aku bangkit dari
tempat duduk dan beranjak masuk kedalam bus. Tak banyak orang dalam
bus ini, selain supir dan kondektur, hanya ada aku dan beberapa
anak-anak berseragam sekolah. Ku pasang headset
disepasang telingaku mendengarkan radio favoritku yang selalu
menemani perjalananku. Beberapa kali bus berhenti di halte yang
dilewatinya, dan untuk yang ketiga kalinya bus kembali berhenti
dihalte, aku keluar dari bus untuk transit.
Jarum
jam hampir menunjukkan angka delapan, namun bus yang aku tunggu belum
juga tampak, terpaksa aku keluar dari halte dan berlari menuju
kampus. Baru beberapa meter aku berlari, napasku sudah
terengah-engah, padahal jarak ke kampusku masih cukup jauh, dengan
ragu-ragu aku menyetop taksi yang melintas dihadapanku.
Pukul
08.15, aku tiba di kampus, segera aku berlari menaiki anak tangga
menuju ruang kuliah di lantai tiga, beruntung kampusku tidak terlalu
luas, jadi aku tidak perlu waktu lama menuju gedung kuliah. Sampai di
kelas aku terkejut melihat keadaan kelas yang terlihat sepi, hanya
ada beberapa temenku yang terlihat sibuk di depan laptopnya
masing-masing.
“ Seharusnya
aku sudah terlambat, tapi kok masih sepi, atau malahan sudah
selesai,” tanyaku dalam hati.
Aku
duduk di kursi paling depan, ku letakkan tasku diatas meja sembari
mengambil handphone
didalamnya. Ku lihat di layar handphoneku
ada satu pesan masuk, segera aku membuka dan membacanya.
Assalamualaikum,
pemberitahuan kepada seluruh teman-teman bahwa untuk mata kuliah
algoritma dan pemrograman di gantikan besok lusa, berhubung dosennya
berhalangan hadir hari ini.
Aku
menghela napas panjang membaca pesan dari Adi, teman sekelasku. Pesan
itu telah mewakili jawaban pertanyaan yang mengganjal dihatiku. Aku
beranjak dari kelas menuju perpustakaan. Aku sempatkan untuk
mengerjakan tugas, sambil menunggu jam kuliah berikutnya.
Saat
aku sibuk didepan laptop,
tiba-tiba ada seseorang memukul pundakku dari belakang. Aku menoleh
kebelakang, dan kulihat seseorang berdiri didekatku, dilemparnya
senyum kearahku sambil menaikkan kedua alis matanya. Aku berbalik
kembali keposisiku semula tanpa mengacuhkannya. Di tariknya kursi
kemudian dia duduk di sebelahku, dia Ifan, temen akrabku di kampus.
“sombong
banget lu”. sapanya mengawali percakapan
“gaya
banget pake elu elu segala, by
the way
kok kamu tahu aku disini?”
“ya
tahu lah.”
Perasaan
aku kan gak pernah kesini kalo sama kamu, kamu kan paling males kalo
kesini.”
“kutu
buku kayak kamu, kan habitatnya disini,” jawabnya sambil tertawa
Aku
melirik kearahnya, kulihat ada beberapa buku dalam genggamannya,
“tumben kamu rajin, pake ngambil banyak buku lagi,”
“Ah
kamu mah tahunya ngeledek terus. Tahu sendirilah tugas kita banyak
banget, emang kamu aja yang mau dapat nilai bagus.”
Suasana
hening sesaat, sebelum kemudian Ifan kembali membuka percakapan.
“Aku
mau tanya sama kamu, kenapa kamu gak suka sama cewek?” tanyanya
menatap kerahaku.
Ku
balas tatapannya sembari ku kerutkan dahiku “maksud kamu” diam
sesaat “aku gay gitu?”
“Eh,
bukan gitu maksudnya, kenapa kamu selalu bersikap cuek sama cewek.
Tuh Dina sepertinya suka sama kamu, cewek secantik dia kamu
sia-siain, mubajir bro”.
“Ah,
jangan sok tau, lagian ngapain sih ngurusi begituan, kita ini
mahasiswa, tugas kita bukan untuk mikirin cewek, tapi masa depan”.
“Cewek
kan masa depan juga bro”.
“Ya,
tapi kan itu beda, adalah saatnya nanti, dan mungkin sekarang belum
saatnya, jodoh gak akan lari kok”.
“ Kapan
lagi saatnya, udah tua gini, cuma kamu loh yang masih jomblo satu
jurusan, gak iri apa?”
“Ngapain
mesti iri dengan hal seperti itu, gak penting kali”.
“Kamu
sama Dina kan akrab banget, kenapa gak kamu tembak aja dia?”
“Kan
aku udah bilang tadi, gak penting”.
“Kamu
bicara seperti itu kayak gak pernah jatuh cinta aja. liat aja nanti
kalo kamu udah ngerasain mabuk cinta, tidur gak nyenyak makan pun tak
enak, kayak lagunya Armada, hahahaha .” Ucapnya sembari beranjak
pergi meninggalkanku.
“Huuuu,
Lebay lu”.
Ku
lirik jam tangan yang melilit di pergelangan tangan kiriku, jarum
pendeknya sudah hampir menunjukkan angka sembilan, segera ku matikan
laptop dan kembali menuju kekelas.
Setelah
jam kuliah usai, aku kembali berjalan menuju halte trans Jogja,
setiap harinya, aku memang lebih suka menggunakan trans Jogja, Selain
tidak punya kendaraan apapun, juga karena ongkosnya terjangkau untuk
mahasiswa perantauan sepertiku dan juga setidaknya bisa mengurangi
kemacetan meski tak seberapa. Yah, walaupun memang fasilitasnya tidak
seperti transportasi umum di negara-negara Eropa sana dan cukup
memakan banyak waktu, tapi aku tetap menikmati setiap detik waktu
perjalananku.
Ada
yang berbeda saat bus mulai melaju, rute yang dilaluinya tak seperti
biasa, sepertinya aku salah jalur bus.aku hanya bisa pasrah dan
mengikuti kemanapun bus ini membawaku. Hingga bus berhenti di halte
Kridosono. Seorang wanita masuk ke dalam bus, di lihatnya sekeliling
bus tak ada kursi yang kosong. Aku yang sejak tadi memperhatikan
tingkah lakunya bangkit dari kursiku dan mempersilahkannya duduk di
kursi yang tadi akau duduki. Dia tersenyum sambil mengucapkan”terima
kasih”. Suaranya begitu lembut, tatapannya teduh, wajahnya sangat
manis dan cantik di balut kerudung berwarna biru gelap. Aku merasa
ada sesuatu yang aneh dalam diriku, dadaku terasa sesak serasa
terkena asma tiba-tiba, jantungku berpacu sangat cepat. pandanganku
tak lepas darinya yang terlihat serius membaca buku. Tiba-tiba dia
mengangkat kepalanya, mata kami saling bertemu, meski cukup jauh, aku
tertunduk malu dan bersikap salah tingkah di hadapannya. Ku lirik
kembali kearahnya, dia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum,
kubalas dengan senyum juga lalu kupalingkan kembali pandanganku
darinya.
Tak
lama kemudian bus berhenti di depan puro pakualaman, gadis itu
berdiri kemudian mendekat kearahku
“Silahkan
duduk kembali Mas, terima kasih”, ucapnya sambil melangkah turun
dari bus.
Mataku
terus mengikutinya, hingga dia menghilang dari pelupuk mataku. Namun
bayangannya masih tetap tinggal dalam khayalku. Aku seperti orang
gila tersenyum-senyum sendiri tak ku hiraukan orang-orang
memandangiku.
Tiba-tiba
supir bus menginjak pedal rem secara mendadak dan membuyarkan
lamunanku. Aku kembali tersadar, aku teringat akan perkataan Ifan di
perpustakaan tadi “mungkinkah aku sudah merasakan jatuh cinta?
Entahlah, hanya tuhan yang tahu”.
Dua
hari berikutnya, aku berencana ikut Ifan ke kampung halamannya di
Klaten. Usai kuliah kami langsung menuju terminal Giwangan, Kali ini
kami naik taksi karena takut ketinggalan bus.
Tiga
hari aku mengunap di rumah Ifan, hari ke-4, aku memutuskan untuk
kembali ke Jogja lebih dulu, karena ada tugas kuliah yang harus aku
selesaikan. Setelah berpamitan kepada keluarganya Ifan, Ifan
mengantarku ke Terminal. Kurang lebih dua jam, aku baru tiba di
terminal Giwangan. Aku turun dari bus dan langsung menuju halte trans
Jogja.
Saat
memasuki halte, diantara kerumunan orang di dalam halte pandanganku
tertuju ke arah dua wanita yang sedang asik bercengkrama. Satu
diantara wanita itu adalah dia yang beberapa hari ini selalu hadir
dalam mimpi-mimpi indahku, wanita yang aku temui di dalam bus
beberapa hari yang lalu. Dia menoleh kerahaku, lalu berjalan
menghampiriku, terlukis senyum dari sudut bibirnya kemudian menyapaku
dengan ramah.
“Eh,
masnya disini juga toh?” tanyanya
“Iya
mbak, saya baru dari Klaten”. Jawabku dengan senyuman juga
“Saya
ingat aroma bulgari
aquanya”,
ucapnya sambil tersenyum.
Aku
hanya bisa tersenyum malu mendengar ucapannya sambil berbicara dalam
hati, “Sebegitu hafalnya dia dengan parfum yang aku pake,
sampai-sampai dia tahu namanya, atau jangan-jangan dia....”. segera
ku buang perasaan GR dalam diriku kemudian berkata “Emmm, namaku
Harriansyah, biasa di panggil Ari, nama kamu siapa?”.
Belum
sempat dia menjawab pertanyaannku, bus yang di 2A sudah tiba di pintu
keberangkatan. Dia segera berpaling mendekati temannya yang sejak
tadi sibuk dengan telepon selularnya sambil sesekali melirik ke arah
kami berdua. Mereka berdua berdesak-desakan dengan penumpang yang
lain. Tak ada senyum apalagi ucapan yang mengakhiri pertemuan kami
kali ini. Aku menghela nafas, batinku kembali berbisik “Mungkinkah
aku jatuh cinta padanya?”. Ku sandarkan tubuhku di kursi. “Apakah
pertemuan yang kedua kalinya masih dikatakan kebetulan? Atau ada
sesuatu di balik itu semua? mungkinkah dia jodohku?” hatiku terus
bertanya-tanya, namun aku berusaha membuang jauh-jauh pikiran itu
dari otakku, meskipun hatiku memberontak dengan keras.
Seminggu
kemudian
Berhubung
hari ini libur, entah kenapa ingin sekali rasanya aku pergi ke
terminal Giwangan, entah apa yang telah merasuki pikiranku. Tapi
akhirnya aku mengikuti apa kata hatiku, aku bersiap-siap dan bergegas
menuju terminal Giwangan dengan bus Trans Jogja.
“Anggap
saja jalan-jalan keliling kota Jogja, mengisi kekosongan waktu” ,
batinku.
Sampai
di terminal, aku turun dan duduk di kursi halte di paling pojok. Tak
ku hiraukan panggilan petugas yang mengarahkan penumpangnya untuk
naik ke bus sesuai tujuannya. Aku hanya duduk diam sambil
mendengarkan radio menggunakan headset.
Beberapa bus berhenti dan berangkat dari halte ini, orang-orang di
dalam haltepun silih berganti. Melihatku yang tak juga beranjak dari
kursi, padahal semua armada bus telah berjalan, salah seorang petugas
menghampiriku
“masnya
mau kemana?”
“Oh,
saya sedang menunggu teman pak”, Jawabku setelah melepaskan headset
dari telingaku.
Beliau
hanya mengangguk kemudian pergi meninggalkanku.
Aku
mulai merasa bosan, sudah lebih dari satu jam aku disini tanpa tujuan
yang jelas. Ketika sebuah bus merapat ke halte, aku memutuskan untuk
kembali ke kost. Dan saat aku bangkit ingin masuk ke dalam bus, aku
melihat seorang wanita yang tak asing lagi dimataku turun dari bus,
tentu saja hal itu membuatku kembali duduk dan mengurungkan niatku
untuk meninggalkan halte. Sengaja kutundukkan kepalaku agar dia tidak
melihatku. Kulirik gerak-geriknya sedang sibuk mencari tempat duduk,
dan tanpa sengaja dia berdiri membelakangiku tepat di depanku. Ku
ambil selembar kertas dan pena, ku tulis sebuah kalimat dikertas itu,
lalu ku jatuhkan di hadapannya. Kertas itu bertuliskan “Silahkan
duduk mbak cantik”. Di ambilnya kertas itu, dia membalikkan
tubuhnya, dia terkejut melihatku berdiri di hadapannya. Aku langsung
berpindah selangkah di belakangnya. Dia tersenyum, lalu kami
berpindah posisi, dia duduk sementara aku berdiri di depannya.
“Untuk
yang kedua kalinya, kamu membebaskanku dari keram dan pegal-pegal
Ri”.
“Tapi
sejujurnya aku lebih senang kalau kaki kamu keram”.
“Issh,
kamu jahat banget ternyata ya”. Ucapnya kemudian membuang muka
“Biar
aku bisa mijitin kaki kamu, hehehe”.
“Huuh
dasar, coba aja kalo berani, palingan ini sepatu melayang ke jidat
kamu”. Ucapnya dengan nada sok kejam
“Nah
karena itulah aku mempersilahkan kamu duduk, karena aku sudah
memperkirakan hal itu, agar jidat ku aman dari pendaratan darurat
sang sepatu, aku juga gak tega melihat kaki cantikmu kelelahan”.
Jawabku datar
Dia
tersenyum lebar “Cerdas banget kamu ya, dapat Sarjana Gombal dari
mana?”
“ISTRI”,
Jawabku singkat.
“haaahhhh?”
“Institut
Raja Gombal Negeri, hahahaha”.
“Oh
dasar, kirain kamu sudah punya istri”, dia memukulkan bukunya
dengan pelan ke pahaku dari arah samping.
“Namu
kamu siapa?”, Tanyaku dengan wajah yang mulai serius.
“Buat
apa kamu tanya namaku?”, Dia balik bertanya dengan nada bercanda.
“Ya
biar aku bisa cari kamu di google”. Jawabku sambil memperlihatkan
handphone
ku
yang telah menampilkan halaman google.com
“Kamu
ini ada-ada aja tingkahnya, namaku Senja”, diam sejenak “Nenekku
yang memberi nama itu, karena aku lahir saat azan magrib
berkumandang”. Kemudian dia kembali melanjutkan bacaannya.
“Kamu
cocok dengan nama itu”.
Dia
kemudian menatapku, aku bisa membaca tatapannya penuh tanda tanya.
“Habisnya, kamu cantik sebagaimana cantiknya langit senja”
Mimik
wajahnya berubah, pipinya terlihat sedikit memerah,“Eh, busku sudah
datang, aku duluan ya, sampai ketemu lagi”.
“kalau
kita ketemu lagi, mungkin kita jodoh kali ya?”.
Dia
tersenyum lalu berkata ”Kalau gitu, aku akan pergi jauh agar kamu
tidak menemukanku lagi. Assalamualaikum”.
Aku
terdiam mendengar jawabannya, ku jawab salamnya hanya dalam hati.
Beberapa
minggu kemudian, aku tidak lagi pernah bertemu dengannya, mungkin dia
sengaja menghilang karena ucapanku di terminal waktu itu.
Untuk
mengisi waktu luang, aku berencana pergi ke toko buku bersama Ifan.
Aku sampai di toko buku lebih dulu. Setelah menitipkan tas dan jaket,
aku segera masuk ke dalam toko. Dengan headset
yang
masih menempel di telingaku aku berkeliling melihat-lihat buku yang
menarik untuk dibaca. Ku hentikan langkahku saat memasuki ruangan
yang hanya di sekat rak-rak buku, salah satu rak itu bertuliskan
Agama Islam. Aku melihat seorang wanita sibuk mencari-cari buku. ku
lepaskan headset
dari
telingaku lalu aku menghampirinya dari belakang.
“Jodoh
memang tak akan lari kemana-mana”, Ucapku kepada wanita itu, sambil
pura-pura sibuk mencari-cari buku.
Dia
berbalik badan, “Ari?” dia menatap tajam ke arahku.
“Kenapa?
Kok terkejut”, jawabku santai
“Gak
nyangka aja bisa bertemu disini, mau nyediain kursi lagi, aku gak
lagi butuh kursi?”.
“Iya,
kursi pelaminan”.
“Ah,
kamu tetep aja sama, gak ada berubah-berubahnya”.
“Aku
serius loh”.
Tiba-tiba
terdengar suara yang memotong pembicaraan kami, “Tapi katanya gak
penting”.
Ternyata
Ifan, dia datang menghampiriku, “Ternyata sahabatku ini diam-diam
menyembunyikan wanita, mau di ajak ke pelaminan lagi. Tapi katanya
gak penting, katanya mau raih sarjana dulu”.
“Apaan
sih lu, ngomong sembarangan, lu kira emas disimpen-simpen, ini temen
gue”.
“Terus
gak di kenalin gitu? Ya udah aku pulang aja, kan udah ada temen”,
Kata Ifan dengan candaan khasnya yang sering dilakukan saat baru
bertemu dengan teman-teman perempuanku.
“Ya
udah pulang sono”.
“Oh,
ok”. Jawabnya menantang, namun dia malah menunduk dan memandangi
sekeliling toko
“Katanya
mau pulang, kok masih disitu?”.
“Ya
aku mau cari buku dulu”, Jawabnya ngeles
Senja
tersenyum melihat tingkah laku kami, yang memang sering bercanda.
Kemudian dia memperkenalkan diri, “Namaku Senja, kamu Ifan ya?”
“Kok
kamu tahu, namaku Ifan?”, Tanya Ifan penasaran.
“Ari
pernah bercerita tentang kamu”, Jawab Senja.
“Nyeritain
aku?”, Tanya Ifan semakin penasaran
“Ya,
dia pernah cerita tentang sahabatnya yang nyebelin, susah di
bilangin, tapi perhatian dan pengertian”.
Akhirnya
kami bertiga menjadi akrab, setelah dari membeli beberapa buku, kami
makan di Cafe tak jauh dari toko buku tersebut. Kami saling berbagi
cerita, dan bercanda tawa bersama. Setelah makan, kami kembali ke
kost masing-masing. Seperti biasa, menggunakan trans Jogja.
Sejak
pertemuan itu, aku dengan Senja menjadi lebih akrab, kami sering
jalan-jalan berdua mengunjungi tempat-tempat wisata di Jogja, meski
hanya menggunakan trans Jogja. Setiap hari, kami bertemu di terminal
Giwangan dan berpisahpun di terminal Giwangan. Hari-hariku menjadi
lebih berwarna, lebih ceria. Ifan pun mengerti akan apa yang aku
rasakan, dia sering meledekku gara-gara percakapan kami di
perpustakaan beberapa bulan lalu. Jujur aku mulai bisa merasakan
cinta kepada senja dan Ifan tahu perasaanku itu meski aku tak pernah
cerita kepada siapapun, termasuk kepada Senja. Selalu ada untuknya
saja aku merasa sudah cukup bahagia tanpa memilikinya seutuhnya.
Bagiku kisah persahabatan lebih indah dari kisah cinta para remaja,
karena tak mengenal adanya kata putus.
Hampir
setahun aku kenal Senja, hingga tiba suatu hari aku tak lagi pernah
bertemu dengannya. Bunga yang dulu menghiasi taman hatiku kini seakan
layu dan mengering. Keceriaanku kembali hilang, aku kembali ingat
perkataan Ifan. Kalau cinta bisa membuat kita susah tidur dan hilang
nafsu makan.
Ku
cari Senja ditempat-tempat yang biasa kami kunjungi, namun tak juga
ku temukan, lebih sebulan sudah berlalu namun tak juga ada kabar dari
Senja, ribuan sms yang ku layangkan tak pernah dibalas, begitupun
dengan pesan di
facebook, BBM.
Nomornya pun tak lagi pernah aktif setiap aku menghubunginya. Di
Malioboro, aku duduk di kursi di trotoar di depan kantor gubernur
DIY, di tempat inilah terakhir kalinya aku bersama Senja. Saat itu
kami baru saja berkeliling Malioboro, kemudian kami istirahat disini
sambil menikmati semangkuk es krim. Dan saat itu pula dia mengenakan
baju yang persis sama dengan baju saat pertama kali aku melihatnya di
bus. Hingga akhirnya seorang temannya yang pernah aku temui di halte,
datang menjemputnya. Dan sejak itulah aku tak lagi pernah melihatnya.
Dari
malioboro aku naik Trans menuju terminal Giwangan, yang menjadi saksi
perkenalan kami, yang dulunya menjadi tempat pertemuan dan perpisahan
kami. Disini aku tetap berdiam diri seperti biasa sambil mendengarkan
radio favoritku. Entah sampai kapan aku terus menunggu Senja di
terminal ini.
Matahari
terus berjalan menuju peraduannya, bulanpun tampak telah siap untuk
menggantikannya dengan cahaya yang dimilikinya. Ku lihat Ifan keluar
dari dalam bus, sahabatku ini memang selalu ada saat-saat seperti
ini, dia menghampiriku dan duduk di sebelahku.
“Udah,
gak usah dipikirin, kan kamu sendiri yang bilang nagpain mikirin
wanita, pikirkan masa depan kita, kalau kamu seperti ini, masa depan
kamu bakalan hilang semua”. Ujarnya menyemangatiku
“Tumben
kamu bijak”
“Ngeledek
terus, ya biasanya kamu yang motivasi aku, sekarang mana Ari yang
dulu, jodoh gak akan lari kemana kan”.
Dari
kejauhan terdengar suara azan berkumandang, sejenak ku lupakan semua
kesedihan yang mengurungku, dan pergi menghadap-Nya meminta
perlindungan dan kesabaran kepada-Nya. Usai shalat aku kembali ke
halte.
Saat
keluar dari ruang tunggu terminal, handphoneku
berdering tanda pesan masuk. Ku raih handphone
itu dari dalam sakuku, terlihat ada pesan masuk dari nomor baru.
“Assalamualaikum
Ari, ini aku Senja, maaf aku tidak pernah mengirim kabar kepadamu,
aku baru menemukan nomormu yang sempat hilang, sekarang aku sudah
bekerja di Singapura, mungkin kita tidak akan bertemu lagi dalam
waktu yang lama. maaf juga aku tak sempat memberi tahu kamu saat aku
pergi, Tetap semangat ya. Terimakasih telah menjadi sahabat
terbaikku, terimakasih atas gombalan-gombalan kocak yang sering kamu
tujukan untukku, aku rindu akan itu semua terutamacsama kamu,. Aku
berharap takdir akan mempertemukan kita lagi. Aku ingin kamu hadir
lagi menyediakan kursi untukku. aku menyayangimu, tunggu aku kembali.
Wassalamualaikum.”
Mataku
terasa sesak dipenuhi butiran-butiran bening yang memberontak ingin
keluar, namun berusaha ku tahan. Ifan mengusap bahuku dengan lembut,
mencoba menenangkanku. Akhirnya aku kembali pulang ke kost bersama
Ifan. Sampai saat ini, setiap hari minggu aku selalu pergi ke
terminal Giwangan, menunggu kehadiran Senja kembali, sesuai janjinya.
bagus, tidak membosankan. Yah walau kesannya gantung... tpi udah berhasil membuatku tersenyum dengan guyonan yang tidak terlalu lebay. He he... di tunggu ya kelanjutan kisahnya, jadi penasaran senja itu sosok'a seperti apa, ke singapura kerja apa..? Apa sosok'a lebih dewasa dari yg ku byngkan..?
BalasHapusThanks komennya, di tunggu kelanjutannya "Pelangi Selepas Senja"
Hapusbagus, tidak membosankan. Yah walau kesannya gantung... tpi udah berhasil membuatku tersenyum dengan guyonan yang tidak terlalu lebay. He he... di tunggu ya kelanjutan kisahnya, jadi penasaran senja itu sosok'a seperti apa, ke singapura kerja apa..? Apa sosok'a lebih dewasa dari yg ku byngkan..?
BalasHapus