31 Desember 2014
Sudah beberapa bulan sejak hari
kelulusan, aku masih belum malanjutkan kuliah, karena gagal masuk ke perguruan
tinggi negeri. Sementara sebagian besar temanku sudah hampir satu semester.
Beberapa hari lalu, Awan teman akrabku telah kembali dari Medan untuk liburan
natal dan tahun baru. Selain Awan ada juga beberapa temen ku yang juga pulang
ke kampung halaman, Fahri, Jul, Adi dan lainnya. Malam ini kami berencana untuk
merayakan tahun baru di rumah Justin.
Untuk persiapan nanti malam, aku
pergi ke ruman Awan, kami pergi ke pasar pagi-pagi membeli ayam potong dan juga
beberapa kebutuhan lainnya termasuk bumbu bakar. Aku memang jarang ikut mamaku
ke pasar, kalau tidak ada acara besar, mamaku jarang ke pasar. Jadi saat itu
aku sangat jengkel, berada di pasar yang becek, memasuki tempat penjualan ayam,
bau busuk mengusik penciumanku, perutku mual. Tapi aku berusaha
menyembunyikannya dari Awan, tapi ku rasa diapun begitu. Tanpa pilih-pilih,
kami langsung memesan dua ekor ayam, setelah itu kami pergi untuk mencari
bumbu, sementara ayam disembelih dan dibersihkan.
Sekembali dari pasar, ayamnya kami
serahkan kepada Ibunya Awan, beliau merebusnya bersamaan dengan bumbu, agar
siap untuk di bakar nanti malam. Kami pergi kerumah Fahri, kami bertiga memang
sering berkumpul, bercerita dan bercanda. Menjelang sore, aku kembali pulang.
Malamnya selepas shalat Isya aku kembali ke rumah Awan, setelah semuanya
berkumpul di sana, kami berangkat ke rumah Justin.
Kami membakar ayam yang tadi kami
beli di pasar, dan menyantapnya dengan di temani oleh kecap pedas dan susu.
Kami memakannya sambil menonton film, kalau tidak salah waktu itu filmya “Aku
Masih Dara” sebuah film dari negeri jiran. Kami bercerita sampai pergantian
tahun. Di Aceh tidak mengenal adanya tradisi perayaan tahun baru masehi, bahkan
sangat tidak dianjurkan, jadi tidak ada terompet apalagi kembang api yang
menghiasi langit malam itu, tapi tak apa, cukup dengan bintang yang berkelap-kelip
dan bulan yang berpijar sudah sangat membuat langit terlihat indah, tanpa ada
suara bising yang mengganggu tentunya, sungguh tak ada yang bisa menandingi
cintaan-Nya.
***
01 Januari 2015
Meski semalam tidur jam 1, aku tetap
bangun cepat, untuk menunaikan shalat Subuh, aku menginap di rumah Justin.
Setelah agak terang aku pulang, rumahku memang tidak terlalu jauh dari rumah
Justin, karena kami masih dalam satu kecamatan, beda dengan teman yang lain. Hari
ini aku ada janji menemani Awan mengunjungi temannya di Kota Subulussalam,
salah satu kotamadya di provinsi Aceh yang dulunya menjadi bagian dari
Kabupaten Aceh Selatan sampai pada 1999, lalu menjadi bagian Aceh Singkil, dan
akhirnya menjadi kotamadya pada tahun 2007. Tak ada perbedaan yang mencolok
antara Aceh Singkil dengan Subulussalam keduanya meiliki budaya yang sama,
bahasa dan suku yang sama, dan sama – sama terletak di perbatasan Aceh – Sumut,
sehingga dua daerah ini banyak menganut adat dan budaya dari Sumut namun tetap
bernilaikan Islami.
Pukul delapan pagi, Awan sampai
dirumahku, sementara aku masih sibuk membersihkan rumah, keluargaku sedang
berada dirumah nenekku, tepatnya adiknya nenekku dari pihak ayah, nenekku
seorang mualaf, namun, adiknya masih beragama Kristen, jadi setiap tahun baru,
kami selalu berkumpul dirumahnya. Begitu juga saat hari raya Idul Fitri mereka
juga ikut bersilaturahmi kerumah nenekku. Namun kami hanya sekedar silaturahmi,
tidak ikut merayakan, sebab di Aceh ada larangan untuk ikut campur dalam aqidah dan ibadah agama lain. Biasanya aku
ikut, namun kali ini karen audah berjanji dengan Awan, aku memilih untuk tidak
ikut ke rumah nenek.
Setelah bersiap, kami berangkat.
perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih dua jam tanpa macet. Jaraknya memang
cukup jauh, dan jalannya yang berliku-liku, dan alhamdulillah, inprastruktur
jalan di Aceh memang tidak diragukan lagi, sebagai daerah dengan biaya APBD
terbesar di Indonesia dari limpahan dana otonomi khusus, pembanguna di Aceh sangat signifikan untuk fasilitas
publiknya. Meski tak ada jalan yang berlubang, tapi mesti tetap hati-hati
karena jalannya yang curam dan di pinggir jurang.
Tiba di rumah Sekar, teman Awan di
kampusnya. kami disambut hangat oleh keluarganya. Sekar mengenalkan kami kepada
anggota keluarganya dan juga satu orang temannya, namanya Nadia. Badannya
sedikit berisi, bicaranya suka ceplas-ceplos, tapi asyik. Setelah pamitan
kepada keluarga sekar, kami pergi ke jembatan gantung, salah satu tempat yang
sering dikunjungi orang untuk berwisata. Awan berboncengan dengan Sekar, dan
aku berboncengan dengan Nadia. Hanya dalam waktu singkat, aku bisa akrab
dengannya, karakternya memang mudah bersahabat. Meski sering bicara hal-hal
yang gak penting, tapi justru seru. Gaya tertawanya yang aku suka, aetiap dia
tertawa, aku pasti diam memperhatikannya. Tapi jujur, aku tidak sedang jatuh
cinta sama dia, saat itu, dan mungkin juga nanti dan seterusnya, dia buka
tipeku. Meski hari itu, dia menjadi pasanganku mengelilingi kota Subulussalam.
***
Untuk sampai di jembatan gantung,
kami harus melewati hutan, akses untuk menuju kesana belum memadai, jalannya
sangat curam dan hanya dilapisi oleh semen. Sampai disana, ternyata tempatnya
biasa saja, tidak ada yang istimewa, hanya ada jembatan gantung yang di
bawahnya mengalir sungai yang jernih airnya. Mungkin disisi lain ada sesuatu
yang tidak biasa, tapi kami hanya sebatas melintasi jembatan saja, setelah itu
kami kembali ke kota. Tujuan selanjutnya adalah kolam renang. Ini juga
merupakan destinasi wisata di kota Subulussalam, berbeda dengan kota lainnya
yang umumnya mengandalkan wisata baharinya, kota Subulussalam memang tidak
memiliki wilayah pantai.
Aku hanya duduk dipinggir kolam,
sambil menikmati snack dan soft drink, sambil menyaksikan orang-orang
yang sedang asik bermain air, termasuk Awan, Sekar, dan juga Nadia. mereka
selalu memaksaku untuk ikut berenang, tapi aku menolak keras. Aku memegang HP
ku dengan erat sebagai senjata agar tidak di tarik ke dalam kolam. Selain
memang tidak bisa berenang, aku tidak membawa baju ganti, dan itu yang aku
tidak suka. Berenang dengan pakaian seadanya, memang sudah biasa disini, tidak
ada baju khusus renang. Aku gak mau harus pulang basah-basah.
Usai dari kolam renang, kami makan
di sebuah warung dekat terminal. Aku masih bersama dengan Nadia, menikmati
makan siang berdua. di meja terpisah, Awan dengan Sekar juga duduk berdua. Tapi
status kami semua disini hanya sebatas teman. Mungkin orang akan mengira bahwa
kami memang orang yang berpacaran. Selesai makan, aku dan Awan kembali pulang. Tubuhnya
sudah menggigil kedinginan, sementara kami masih harus menempuh perjalanan
kurang lebih satu jam lagi. Tahun baru ini terasa berbeda, karena tahun baru
ini pertama kalinya aku menikmati hari berdua sama perempuan hampir sepanjang
hari. Sama kekasihku sebelumnya belum pernah selama ini. Bukan hanya itu saja,
aku senang bisa dapat kenalan baru yang gampang akrab, ramah, dan lucu. Meski
banyak kata-katanya yang ngelantur, tapi dia bisa buat hari menjadi hari yang
penuh dengan tawa. Aku bahkan sudah lupa, kapan terakhir aku tertawa lepas
seperti ini. Terimakasih untuk hari ini, terimakasih untuk Nadia, pasangan
tahun baruku, sekaligus guide ku, terimaksih Sekar sudah mengenalkanku
kepada Nadia, dan terimakasih kepada Awan yang telah mengenalkanku dengan
Sekar. Terakhir terimakasih kepada Tuhan, hari ini begitu indah.
0 komentar:
Posting Komentar