Pelangi Selepas Senja (Kelanjutan dari Cerpen Menunggu Senja di Terminal Giwangan)


Assalamualaikum, selamat siang para sahabat, semoga selalu dalam keadaan yang baik, selamat datang di blog saya yang masih berantakan ini, belum sempat buat ngerapinnya, maaf ya. Kali ini saya mau ngepost cerpennya Iky Adrilianto lagi, yang judulnya Pelangi Selepas Senja, berbeda dengan karya lainnya yang biasanya di ambil dari pengalaman pribadi, cerita kali ini benar-benar fiksi meski alur ceritanya berbeda dari kerangkanya. cerita ini di dasari dari cerita sebelumnya yaitu Menunggu Senja di Terminal Giwangan. dan ini adalah lanjutan dari cerpen tersebut.  bagi kamu yang belum membaca  Menunggu Senja di Terminal Giwangan. silahkan dibaca dulu, biar ceritanya nyambung. oke, baiklah sahabat, selamat membaca!


Pelangi Selepas Senja

Hari itu, aku baru saja pulang dari kampus dan singgah ke supermarket, aku bertemu dengan seorang wanita di supermarket. Aku sangat mengenal wanita itu, senang rasanya bisa bertemu dengannya lagi. Wanita itu terlihat sedang mencari sesuatu di bagian kosmetik. Usai mengambil keranjang belanja, aku langsung menghampirinya.
            “Hei, apa kabar?” Sapaku pada wanita itu.
            “astaghfirullah. Ari, kau mengagetkanku saja” Ia mengelus dadanya, namun tetap menyunggingkan senyumnya. Ya Tuhan, senyum itu…
            “Kau masih mengingatku? Lagi belanja juga ya?” Tanyaku basa-basi.
            “Enggak, Cuma lagi karaokean aja. Ya iyalah belanja, memangnya apa yang dilakukan orang di supermarket, pertanyaan macam apa itu.” Dia menjawab dengan sedikit bergurau.
            “Ya, kali aja mau nyolong,” seakan tak mau kalah aku membalasnya dengan gurauan juga.
            “Enak aja,” Ia mengambil sebuah sabun pencuci wajah, kemudian memukulkannya kedahiku dengan pelan sebelum memasukkannya ke dalam troli.
            “Bagaimana kabar Senja sekarang, sudah lama aku tak dapat kabar darinya.” Kali ini nada bicaraku ku buat serius, aku terus mengikutinya dari belakang ketika ia berjalan menuju bagian makanan.
            Ia membalikkan tubuhnya menatapku, “Aku juga tidak tahu, dia bahkan tidak pernah menghubungiku?” tiba-tiba mimikwajahnya berubah. Sambil memeluk sekaleng wafer didadanya, ia memandang kearah troli, tapi aku bisa melihat itu adalah tatapan kosong.
            “Kenapa?” Aku mendekatinya dengan alis terkerut dan bertanya padanya.
            Dia tersentak, kemudian memasukkan kaleng wafer itu kedalam trolinya, “Tidak apa-apa.”dia kembali mendorong troli belanjaannya. “Aku tahu kau menyukainya,” Katanya tiba-tiba saat kami sampai di ujung koridor diantara rak-rak makanan.
            “Dari mana kau bisa seyakin itu?” Aku masih saja terus mengikutinya, kali ini dia berputar balik ke rak yang berada di balik rak yang tadi.
            “Itu sangat mudah, aku ini mahasiswi psikologi, ya meskipun belum pernah aku pelajari, tapi aku tau menilai seseorang yang sedang tertarik sama seseorang,”ia berjalan pelan matanya mengawasi satu persatu makanan ringan yang disusun rapi di atas rak.
            Aku berhenti sejenak, memikirkan sesuatu, kemudian dengan cepat menyusulnya kembali,“Apa menurutmu Senja juga tertarik padaku?”
            Dia berhenti sebentar dan berdiam diri, entah apa yang sedang dipikirkannya, kemudian dia kembali membalikkan tubuhnya menghadapku. “mmm, sepertinya kau datang kesini untuk belanja bukan?” ia menatap keranjangku yang masih kosong, “Dan sepertinya, troliku sudah mulai penuh, aku harus ke kasir sekarang.”
            “Oh iya, benar juga, aku sampai lupa belum mengambil apa-apa, oke, terimakasih, dan sampai ketemu lagi,” aku berjalan berbalik arah.Langkahku terhenti di depan rak sayur,merenung sejenak,aku sampai lupa apa yang ingin ku beli tadi. Ya Tuhan sepertinya pikiranku sedang kacau.Otakku selalu tak bisa berpikir normal saat aku kembali teringat akan Senja.
            Sudah dua tahun sejak Senja mengatakan dirinya pergi ke Singapura. Hidupku kembali seperti semula, seperti saat aku belum bertemu dengannya. Tapi ada sedikit perberbedaan, bayangannya seakan tetap tinggal bersamaku, yang terkadang sering berputar-putar di otakku. Disaat aku benar-benar merindukannya, secara kebetulan pula aku bertemu sahabatnya tadi di supermarket, membuatku seakan merasakan kehadiran Senja kembali.
***
Aku baru saja tiba di kamar kostku, meletakkan kantung belanjaanku di lantai. Pikiranku kembali kepada gadis tadi, sepertinya dia sengaja menghindar dari pertanyaanku tadi. Aku mendesah pelah, batinku berbisik kenapa tadi aku tidak menanyakan namanya sekaligus meminta nomor teleponnya, supaya aku bisa menanyakan kabar Senja darinya.
            Ponselku tiba-tiba bergetar di dalam saku, membuyarkan lamunanku. Aku meraihnya dan membaca sebuah pesan masuk, dari Ifan. Dia mengajakku untuk makan malam di sebuah restoran tempat kami biasa berkumpul bersama teman-teman yang lain. Segera aku bangkit menjumput handuk, dan bergerak menuju kamar mandi.
            Beberapa menit kemudian aku sudah turun dari halte Trans Jogja, saat aku berjalan melewati zebra cross, terdengar bunyi klakson dan tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang mendorongku dari belakang, sontak aku terkejut dan membalikkan tubuhku, saat orang itu akan terjatuh, aku berhasil meraih sikunya. Dan saat itu pula ia membuka matanya yang membuat mata kami saling bertatapan. Mata itu, mengingatkan aku saat pertama kali aku menatap mata Senja didalam bis. Dua bola mata yang indah yang mampu membuatku susah tidur.
            Segera aku membantunya berdiri dan membawanya ke trotoar, saat aku mendengar lagi bunyi klakson yang membangunkanku dari dunia khayalku. “Kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau bisa terjatuh?” Aku langsung melontarkan rentetan pertanyaan padanya, ketika kami berdua baru saja tiba di trotoar.
            Orang itu tak langsung menjawab, ia memalingkan wajahnya, dan hendak melangkahkan kakinya untuk pergi. “Hei, tunggu dulu,” Aku mencegahnya sebelum ia melangkah lebih jauh, dan tanpa sadar tanganku menarik pergelangan tangannya, “Kalau kau tak mau menjawab pertanyaanku, setidaknya kau berterimakasih padaku, tanpaku mungkin kau sudah terbaring di rumah sakit sekarang.”
            Ia berhenti, menatap pergelangan tangan kananya dalam genggamannya, seketika itu juga aku melepaskan genggamanku. “Maaf Ri, aku bersikap seperti orang bodoh, tadi saat aku hendak menyeberang tiba-tiba ada mobil yang melaju kencang persis mengarahku dan aku langsung berlari, tapi kakiku keseleo dan tanpa sengaja menambrak punggungmu,” dia diam sejenak, “dan terimakasih sudah menyelamatkanku,” lanjutnya.
            “Kau mau kemana? Kenapa terburu-buru begitu? tadi sore kau masih terlihat baik-baik saja, kenapa kau seperti menghindar dariku sejak tadi sore?”
            “Mmmm, aku tidak punya alasan untuk menghindar darimu,”dia menggigit bibirnya sepertinya dia sedang memikirkan kata-kata lalu, “Aku tadi cuma malu aja waktu aku tau bahwa kau yang menolongku, ya seperti itulah.”
            “Mmm, jadi itu yang membuatmu salah tingkah begitu?... Sudahlah lupakan saja, kau mau kemana sekarang? Gimana kalau kau ikut denganku?” Aku mengajaknya dengan alis terangkat.
            Dia menatapku dengan alis berkerut heran, sebenarnya aku tau maksudnya, dia pasti bertanya aku akan membawanya kemana, tapi aku menunggu ucapan itu keluar dari bibirnya, “Kemana?” tak perlu waktu lama akhirnya dugaanku benar.
            “Makan malam dengan teman-temanku, kau mau ikut? Atau mungkin kau sedang ada janji dengan seseorang?”
            “Tidak, aku tidak ada janji dengan siapapun, mmm… baiklah, aku ikut denganmu, ayo.”
            Selesai acara makan malam, aku pulang bersama Alfi, gadis yang tadi menambrak punggungku sekaligus orang yang aku temui di supermarket tadi sore. Aku berniat menemaninya sampai ke kostnya, sebenarnya supaya aku bisa bertanya lebih jauh tentang Senja. Aku baru mengetahui namanya saat perjalanan menuju restoran tadi. “Teman-temanku asyik bukan?Kau terlihat senang mengobrol dengan mereka meskipun baru kenal” Aku membuka percakapan sambil berjalan menyusulnya dari belakang.
            “Ya begitulah. Tapi, aku sedikit terkejut saat kita baru saja datang tadi, bagaimana mungkin mereka bisa mengira bahwa kita pacaran?”
            “Mungkin menurut pandangan mereka kita cocok, lagipula sepertinya kau memiliki kemiripan dengan Senja” Jawabku asal mencoba menebak-nebak.
            “Kau mencoba merayuku disaat Senja tidak ada, bahkan ingin menyamakan dia denganku, kau benar-benar keterlaluan, seandainya Senja mendengar hal ini.” Tiba-tiba ia berhenti melangkah, memiringkan kepalanya ke kanan sambil menatapku,“Atau memang kau sering merayu semua gadis yang kau temui.”
            Aku balas menatapnya dengan senyum, “Tak ada salahnya mencoba kan? Oh ya, liburan nanti, rencananya aku akan pergi ke Singapurasupaya aku bisa bertemu Senja, aku benar-benar merindukannya, kau punya alamatnya?”Belum sempat ia menjawab, aku kembali melanjutkan perkataanku, “Tadinya aku mau minta langsung ke dia melalui e-mail, tapi setelah aku pikir-pikir, selain aku tidak yakin dia masih menggunakan e-mailnya atau tidak, aku juga ingin memberi kejutan padanya, bagaimana menurutmu?”
            “Eh Ri, aku harus pulang sekarang, sepertinya kau tak perlu repot-repot mengantarku pulang, sudah terlalu malam, aku takut kau tidak dapat bis untuk pulang, kau tak usah mencemaskanku, akubisa pulang naik taksi,” ia berbalik arahdan sebelum ia melangkahkan kakinya, ia kembali membalikkan pandangannya kearahku yang sejak tadidiam membatu memperhatikannya, “Oh ya, terimakasih atas teraktirannya tadi, assalamualaikum.”
            Aku masih tetap berdiri memandangnya dengan tatapan tanya, kenapa lagi-lagi dia seperti menghindar. Ku perhatikan jarinya sibuk menari-nari diatas layar ponselnya setelah ia berdiri di tepi jalan tak jauh dari tempatku berdiri. Beberapa menit kemudian sebuah taksi menghampirinya ––sepertinya dia memesan taksi lewat aplikasi–– Sesaat sebelum ia masuk kedalam taksi, ia melihat kearahku dan melambaikan tangan kanannya sambil tersenyum.
            Mataku terus memandangi kearah taksi itu melaju, pikiranku kembali kacau, bukan karena dia yang lagi-lagi menghindar dariku, tapi karena sesuatu yang mengingatkanku kembali pada sosok Senja. Sesuatu itu adalah sorot mata Alfi dan juga senyumannya yang persis sama seperti Senja. “Ngomong-ngomong apa kabar dia sekarang ya?” batinku berbisik.
***
Beberapa Bulan kemudian
            Kemana anak itu? Aku sedang duduk di food courttaman JEC, mengaduk-ngaduk minumanku sambil bertanya pada diri sendiri dalam hati. Sejak acara makan malam beberapa waktu lalu itu, Alfi tak lagi penah menampakkan wajahnya, sialnya aku tak sempat meminta nomor teleponnya waktu itu, alamat bahka kampusnya pun aku tak tau. Aku mendesah kesal tanpa ku sadari tanganku memukul meja cukup keras. Di saat itu juga Ifan datang membawa semangkuk mie ayam.
            “Ngapain lu?” Tanyanya setelah ia duduk di kursi sebelah yang dipisahkan oleh meja.
            “Eh, kenapa? Oh. Enggak, gak apa-apa,” aku bingung harus menjawab apa.
            “Bagaimana? Kau jadi mau ke Singapura besok lusa?” Ifan bertanya sambil menyantap mienya.
            “Entahlah, aku belum dapat alamatnya Senja.Kau jadi ikut?
            “Kenapa kau harus mencarinya lagi, tak bisakah kita ke Singapura hanya untuk menikmati liburan tanpa harus disibukkan dengan mencari seseorang yang tak jelas dimana dia berpijak.” Ia menghentikan makannya sejenak dan menatapku lalu kembali melanjutkan makannya.
            “Kau tak pernah tau apa yang aku rasakan.”
            Ia menatap wajahku dengan tajam sambil masih tetap mengunyah makanannya, “Terserah kau saja lah, aku sudah berkali-kali mengingatkan kenapa kau tak mencoba melupakannya, jika memang kau masih menyukainya apa salahnya kau menelponnya dan nyatakan perasaanmu padanya, agar kau tak terus-terusan gila karena terlalu berharap padanya… sepertinya selera makanku hilang.” Ia bangkit dan pergi entah kemana.
            Perkataan Ifan tadi masih mengiang-ngiang di telingaku, ada benarnya juga perkataannya tadi, kenapa aku tak pernah mencoba menelpon Senja dan langsung berterus terang padanya, jika memang dia memang menolakku, setidaknya aku tidak akan terus-terus menunggunya. Aku berjalan tak jauh dari tempat dudukku. Di dekat air mancur, aku mencari nomor Senja yang dulu mengirimiku pesan. Beberapa saat kemudian telepon tersambung, jantungku serasa berhenti berdetak hingga terdengar suara diseberang sana, barulah aku bisa kembali bernapas lega, namun jantungku malah semakin berpacu cepat.
            “Halo, assalamualaikum,” Suara itu terdengar jelas, sangat jelas. Rasanya aku tidak hanya mendengar suara itu di telepon, sepertinya suara itu ada di dekat ku “Halo, assalamualaikum, dengan siapa?” ia mengulang perkataannya karena aku hanya terdiam mendengar suaranya. Dan benar saja suaranya semakin jelas terdengar, aku membalikkan tubuhku, beberapa langkah dari tempatku berdiri, ada seseorang wanita mengenakan kerudung biru muda sedang duduk bersama kedua temannya, tangan kanannya memegang ponsel ditelinganya.Ia berbicara kepada kedua temannya kemudian beranjak dari kursi nya dan berbalik arahhendak berjalan sambil berkata “Halo ini dengan siapa?” Suara wanita itu terdengar jelas juga di ponselku. Ia terkejut menatapku, begitupun aku.
            “Kau?” Aku masih menempelkan ponselku di telingaku.
            Ia menurunkan tangannya yang memegang ponsel, “A.. Ari, kau yang menelpon barusan?” ia bertanya dengan terbata-bata, dan aku hanya menjawabnya dengan menganggukkan kepala. “Aku bisa menjelaskan ini semua,”
            “Apa yang ingin kau jelaskan? Jadi selama ini kau menipuku?” nada bicaraku terdengar agak tinggi, sehingga semua orang di sekitar menatapku dengan curiga.
            “Tenang dulu, biar aku jelaskan semuanya, tapi tidak disini, aku ingin bicara empat mata denganmu, kita ketemu di Grhatama Pustaka nanti. Aku tunggu di ruang duduk lantai dasar.” Ia kembali ke mejanya menjuput tasnya dan beranjak pergi diikuti oleh teman-temannya.
            Aku berjalan sendirian menuju Grhatama Pustaka yang letaknya bersebelahan dengan gedung JEC, meninggalkan Ifan yang tak tau dimana wujudnya sekarang. Aku masih penasaran penjelasan apa yang akan di katakannya.
            Tiba di Grhartama kau langsung turun ke lantai dasar, aku melihatnya duduk seorang diri sambil membaca buku, “Duduklah!” perintahnya ketika menyadari kehadiranku.
            Aku menuruti perintahnya, aku bernapas lebih cepat, jantungku pun tak kalah cepatnya berdenyut, telingaku terasa panas, pasti dia bisa melihat eksperi marah di wajahku. “Apa yang ingin kau jelaskan?” Tanyaku setelah beberapa saat. Ia hanya menunduk dan menahan tangis, aku kembali bertanya padanya kali ini nada suaraku aku rendahkan, “Alfi, apa kau mendengar ucapanku?”
            “Maafkan aku Ri, aku terpaksa melakukan ini semua, tapi jujur, bukan karena…” ia tak menyelesaikan perkataannya dan mengalihkan pandangannya ke aquarium, “Apa kau tahu alasan Senja pergi ke Singapura?” Katanya kemudian.
            Aku berdeham sambil mencoba mengingat-ingat, “Tidak, dia tidak memberitahuku alasannya, dan akupun tak pernah menanyakannya, aku kira dia ingin melanjutkan pendidikannya disana.”
            “Kamu salah,” Aku memperhatikan wajahnya, terlihat butiran bening mulai mengalir dari pipinya, “mungkin kau masih ingat saat kalian tengah duduk menikmati es krim, dan saat itu aku datang menjemputnya,” dia kembali menatapku sambil mengusap air matanya, sementara aku mencondongkan tubuhku kedepan dengan tangan kiri terkepal menopang kepala.
            Tanpa menunggu jawaban dari ku ia terus melanjutkan penjelasannya, “Saat itu, dia memberitahuku lewat pesan singkat, dia bilang lututnya terasa nyeri, aku disuruh menjemputnya dan melarangku untuk memasang wajah panik.”
            “Terus,” aku memotong ucapannya kemudian menggeserkan kursiku berdempetandengan kursinya.
            “Dan sejak saat itu, dia di rawat di rumah sakit, kondisinya semakain memburuk, sehingga ia terpaksa di bawa ke Singapura. Ia berpesan padaku untuk mengirim pesan kepadamu, untuk memastikan bahwa dia tetap baik-baik saja,”
            “Jadi, nomor itu memang nomormu?” Aku bertanya padanya, sekilas aku tersadar kenapa aku malah bertanya hal yang tidak penting, kenapa bukan tentang kesehatan Senja. Ketika aku ingin berbicara lagi, ia sudah lebih dulu menjawab pertanyaanku.
            “Bukan, itu memang nomornya Senja, tapi aku sekarang aku yang memegangnya,”
            “Lalu, bagaimana keadaan Senja sekarang? Apa dia masih di rawat di rumah sakit do Singapura, katakana padaku dimana dia di rawat aku akan pergi ke Singapura besok lusa dan akan aku pastikan aku akan menemuinya,” Aku berkata tanpa jeda, air mataku juga turut mengalir tanpa sadar.
            Alfi menundukkan kepalanya dan menutupnya dengan kedua tangannya, “Senja…. Dia… dia sudah pergi untuk selama-lamanya satu tahun yang lalu.” Ia semakin terisak.
            “Apa? Kamu gak mengada-ngada kan?” tanyaku masih belum yakin dengan apa yang dikatakannya tadi.
            “Bagaimana mungkin aku bisa mengarang cerita bahwa saudaraku meninggal dunia? Saat itu aku berharap dia bisa sembuh, aku ingin kalian bisa bersatu, sebab itu aku mengatakan dalam pesan itu bahwa dia akan kembali.”
            “Saudara?” aku bingung dengan perkataannya.
            “Aku dengan Senja adalah saudara kembar, dia terlahir lebih dulu, dan dia mengidap penyakit hemofilia dari ayahku, karena itulah aku selalu berusaha menghindar darimu saat kau bertanya tentang Senja, sebab aku selalu teringat padanya setiap kali bertemu denganmu.”
            Secara naluri, tangan kiriku merangkul bahunya dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Ia menangis di bahuku hingga membasahi bajuku, sesaat dia tersentak, dan mengangkat kepalanya, “Maaf.” Ia mengusap air matanya. Ia megeluarkan tisu dan menyodorkannya padaku, “Kenapa kau ikut menangis?” katanya sambil tersenyum, lagi-lagi senyum itu mampu membangkitkan semangatku, seakan mematahkan kesedihanku.
            Aku memaksakan tersenyum padanya, “Terimakasih, kau juga tak perlu menangis, aku khawatir bajuku akan basah semua, sebab aku tak membawa baju ganti,” aku masih bisa bergurau mencoba menenangkannya.
***
            Setelah mendengar kabar kematian Senja, aku sempat sangat tertekan, bebrapa hari aku tak bisa beraktivitas dengan lancer, aku selalu teringat akan dirinya. Tapi, dengan hadirnya Alfi, yang ternyata adalah saudara kembar Senja membantuku untuk bisa lepas dari masa lalu, mereka memang saudara kembar, tapi mereka tidak persis mirip. Namun, tatapan mata dan cara mereka tersenyum terlihat sama. Alfi kini sering menemaniku, dan membantuku banyak hal, salah satunya adalah membantuku untuk move on. Masuknya dia dalam hidupku seolah menjadi pengganti Senja, dan sepertinya aku juga mulai tertarik padanya.
Enam bulanberikutnya.
            Aku menatap batu nisan di hadapanku yang bertuliskan Seftia Alfiani. Alfi menepati janjinya waktu itu untuk membawaku ke makam Senja di Surabaya, kami baru bisa kesini setelah mendapat libur panjang semester.
            “Jadi sebenarnya namanya adalah Seftia Alfiani, dan aku Seftia Alfiana,”Alfi seolah bisa membaca apa yang aku pikirkan, Setelah memanjatkan do’a dan menaburkan bunga kemakam kakaknya.
            “Kenapa dia di panggil senja?” aku masih jongkok di samping makamnya dan mendongak menatap Alfi yang berdiri membawa keranjang berisi bunga.
            “Dia bercerita banyak hal tentang kamu, dia tertarik padamu sejak pertama kali dia bertemu denganmu, dia bilang kamu laki-laki yang bertanggung jawab dan mengayomi perempuan, dia bilang kamu rela berdiri untuk memberinya tempat duduk.” Ia ikut berjongkok, kemudian melanjutkan ucapannya “Dia sangat menyukai langit senja, sangat indah, di waktu itu, banyak orang berbondong-bondong menuju ke masjid untuk shalat magrib, memohon kepada tuhannya.”
            Aku menganga menatapnya, tak mengerti arah pembicaraannya. Namun dia tersenyum dan sepertinya mengerti maksdudku lalu dia kembali bergumam, “Karena itulah, ketika kau bertanya siapa namanya dia menjawab Senja. Alasannya karena kau telah menjadikan hidupnya terasa indah, ia lupa akan penyakit yang dideritanya, dan kau juga selalu ada dalam do’a-do’anya, nenek kami juga dulu memanggilnya Senja, karena kita berdua lahir di waktu azan magrib. Tapi, ketika aku bertanya apakah dia berdo’a agar kau berjodoh dengannya, dia menggeleng, lantas dia menjawab, ‘orang seperti dia tidak pantas bersamaku yang penyakitan, kasian dia, aku berdo’a agar dia di berikan yang terbaik.’ Dia menjawab seperti itu sebelum akhirnya ia mengucap dua kaliamat syahadat di detik-detik sakaratul mautnya.”
            “Romantis sekali, aku rasa do’anya sudah terkabul,”aku mencoba bergurau, lalu berdiri dan diikuti oleh Alfi, “Alfi, apa boleh aku memanggilmu pelangi?”
            Alfi yang tadinya menunduk memalingkan wajahnya kearahku, dia kembali tersenyum meski aku bisa melihat matanya berkaca-kaca,  lalu ia berkata“Kenapa?”
            “Mungkin kamu adalah jawaban dari do’a-do’a Senja.”aku berjalan mendekat kearahnya.
            “Maksudmu? Dan apa hubungannya dengan pelangi?” Suaranya terdengar serius ia terus menatapku dengan tajam.
            “Karena kau telah mewarnai hidupku kembali, disaat kesedihanku dan mampu menghapusnya. Seperti halnya pelangi yang datang setelah hujan turun, benar-benar indah, begitupun kamu yang telah memperindah duniaku dengan sejuta warnamu.” Aku mendekatkan wajahku kewajahnya. “Karena kau seorang psikolog, sepertinya aku tak perlu menjelaskan apa yang aku rasakan padamu.” Aku kembali melanjutkan ketika mata kami saling bertemu.
            “Ya, aku tau itu,” jeda sebentar“Ari, kau tahu, sebenarnnya kau juga,” katanya kemudian, “Kau juga telah memberi warna dihidupku, dulu aku tak pernah percayapada Senja yang langsung jatuh hati pada pandangan pertama, mungkin kini aku tau alasan mengapa Senja bisa menyukaimu, karena aku pun mulai menyukaimu, di saat kau menatap mataku di supermarket waktu itu. Aku curiga jangan-jangan kau memakai pelet.” Dia tertawa di ujung ucapannya, seketika itu kami telah berjalan keluar dari komplek pemakaman. Terimakasih Senja, atas do’a mu kini aku telah mendapatkan yang terbaik, meski sesungguhnya aku masih sangat mencintaimu.

Iky Adrilianto, 16 – 17 April 2016   
SHARE

Rizki Adrilianto

Hanya blogger sederhana yang suka hal baru di internet!! dan suka KEPO!!

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

5 komentar:

  1. apa itu ya?? kos gak keliatan (idung di tutupin)

    BalasHapus
  2. Alur ceritanya bagus ki, seolah olah kejadiannya memang bneran terjadi, isinya bisa mengajak si pembaca seakan akan ngerasain langsung kejadian itu.. Isi ceritanya bagus,detail, menarik lah untuk di baca.. Good job lanjutkann

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html